Cuaca
yang sering berubah-ubah akhir-akhir ini membuat kondisi kesehatan seseorang
cenderung bermasalah. Termasuk aku yang kini sudah bersin hampir empat kali.
Tenggorokan rasanya seperti tertusuk ribuan duri. Gejala seperti itu memungkinkan
akan segera terkena flu. Pagi tadi mendung menghiasi langit, matahari
bersembunyi dibalik awan kelabu. Berbeda dengan siang ini matahari terlihat
terik tapi awan di langit berkumpul seperti membentuk koloni.
Ping!!!
Ping!!!
Aku sudah di depan, Vel.
Sebuah
pesan bbm masuk dan menimbulkan bunyi dan getar di handphoneku. Sebelumnya aku
sempat tertidur di meja kerjaku. Entah angin apa yang membawaku ke alam tidur,
kipas angin di meja yang tidak begitu terasa pun mampu membuatku sejenak
beralih ke dunia lain. Tapi bukan dunia ghaib.
Kesadaranku
belum sepenuhnya kembali, aku mengucek kedua mataku. Aku mencari-cari tisue
untuk mengelap muka yang sedikit kucel.
Bentar ya, wait me.
Aku
membalas pesan itu. Kemudian aku berjalan ke luar ruangan dengan langkah
gontai.
“Vella
pasti baru tersadar dari tidur iya kan?” tanya salah satu karyawan kantor ini.
Aku hanya membalasnya dengan anggukan. “Hati-hati ketahuan si Boss.”
“Ya
intinya aku gak bakal sampai ketahuan kalau bukan kamu yang ngadu.” timpalku sekenanya
sedangkan karyawan yang bernama Dewi itu hanya tertawa pelan sambil berlalu
dari hadapanku.
Setibanya
di luar ruangan mataku menyipit otomatis, cahaya di luar terlalu silau.
“Angga,
sorry lama.” Aku menghampiri laki-laki yang duduk di atas motornya dengan
santai. Dia menoleh ke arahku dengan dahi berkerut memperhatikanku.
“Abis
bergadang ya Neng? Atau... biar aku tebak kamu baru siuman kan?”
“Iya,
baru siuman dari tidur. Yaudah ini buku yang aku pinjam kemarin. Terimakasih.”
Aku menyodorkan buku yang aku pinjam dari beberapa bulan yang lalu. Karena
kesibukanku aku lupa mengembalikan buku itu padanya. Entahlah tiap mau
menamatkan itu buku, rasa malas selalu menggelayut manja padaku. Aneh.
Setelah
mengembalikan buku itu aku ngeloyor masuk ke dalam kantor lagi.
“Eh
Vel, cuma gitu doang?” teriaknya ketika aku hampir mencapai pintu.
“Trus
mau ngapain lagi?” tanyaku dengan nada yang terdengar malas.
“Oh
gak sih, ya sudah masuk sana. Aku balik dulu.” Aku menanggapinya dengan
anggukan pelan.
Saat
aku mendarat dengan mulus di meja kerjaku tiba-tiba si Dewi datang dengan muka
cengar-cengir tidak jelas.
“Ada
apa Wi?” tanyaku.
“Cieh
abis diapelin gebetan.
”
Aku
hanya terbengong mencoba mencerna perkataan Dewi.
“Oh...
Bukan.” jawabku singkat. Aku bergerak mencari-cari benda yang sangat penting
bagiku. Handphoneku, aku lupa meletakannya dimana.
“Cari
apa Vel? Oh aku tahu, handphone?” aku mengangguk antusias. “Coba cek laci.”
Ternyata
benar aku memasukkannya di laci meja kerjaku. Penyakit pikun mulai kumat. Aku
mengucapkan terimakasih ke Dewi tapi dia hanya nyengir kemudian pergi dan
melupakan begitu saja pertanyaannya tadi. Untunglah aku tidak perlu repot-repot
menjawab pertanyaannya yang aku sendiri tidak tahu apa jawabannya.
Aku
paling malas jika ditanya-tanya tentang gebetan apalagi yang berhubungan dengan
Angga. Ya benar, aku memang pernah menyukai Angga. Ah tidak, sampai sekarang
pun rasa itu masih sama. Tapi aku memilih cinta dalam diam. Vella yang sekarang
berbeda dengan Vella yang dulu. Aku tidak lagi dengan gamblang mengungkapkan
perasaanku pada laki-laki. Aku tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama,
terjebak ke dalam lumpur
yang
membuatku sulit keluar dari masalah tentang cinta. Merasakan bagaimana sesaknya
bernafas dalam debu. Aku tidak ingin melakukan kebodohan yang sama.
Jalanku
sekarang berbeda, aku memberanikan diri untuk berubah. Aku melangkah dari
gelapnya kehidupan yang tak tahu kapan akan berakhir, mencoba meraih cahaya
yang bisa menuntunku ke tempat terindah. Aku membatasi pergaulan dengan
laki-laki, aku tidak lagi melakukan hal-hal yang memang telah dilarang dalam
agamaku. Jika selama ini aku terjebak dalam jaring keburukan, kini aku ingin
melihat cahaya kebaikan. Cahaya yang indah bagaikan sinar ribuan bintang yang selalu menghiasi langit malam
dengan kerlingannya yang begitu menakjubkan.
Mengharapkan
hati yang tidak pasti akan aku miliki membuatku sangat tersiksa. Bukankah aku
hanya boleh berharap pada Sang Pencipta? Tapi perasaanku tak pernah berbohong
jika aku benar-benar mengharapkan dialah yang nantinya menjadi imamku. Angga,
apakah kau juga mempunyai perasaan yang sama sepertiku? Tidak. Aku tidak ingin
terlalu memujamu, karena belum tentu engkau untukku. Belum tentu kamu adalah
takdirku.
---
“Kenapa
sekarang kamu terlihat tertutup banget, Vel?” tanya Dewi disela makan siang
kami di sebuah warung makan seberang kantor.
Siang
ini hujan turun dengan derasnya, jadi terlalu malas jika makan jauh dari
kantor. Kalau tahu siang ini akan hujan aku akan membawa bekal saja dari rumah.
Sayangnya aku bukan seorang peramal cuaca.
“Bukankah
seorang muslimah harus menutup semua bagian tubuhnya kecuali telapak tangan dan
wajahnya ya?” tanyaku balik pada Dewi.
Dia
memanyunkan bibirnya, “Dih yang aku maksud bukan itu.”
“Trus?”
“Maksudku... kepribadianmu yang terlihat tertutup. Kamu
sekarang jarang sekali bergaul dengan laki-laki. Apa kamu punya semacam trauma
dengan laki-laki setelah putus dengannya?”
Aku
menghentikan aktivitas makanku, meneguk segelas air putih dan berdiam sejenak
memikirkan kata-kata selanjutnya untuk menjawab pertanyaan Dewi.
“Bukan
itu, Wi. Jadi aku salah, selama ini aku berpikir jika bisa mempunyai pacar maka
aku dapat hidup bahagia bersamanya hingga pernikahan nanti. Ternyata bukan
seperti itulah kenyataannya. Pacaran itu tidak berlaku di dalam agama kita,
pacaran juga tidak menjamin aku akan berjodoh dengannya. Jodoh di tangan Allah,
kita tidak akan tahu siapa jodoh kita hingga waktunya tiba. Entahlah. Yang
pasti sekarang aku hanya berusaha memperbaiki diri. Gitu deh.”
Dewi
tersenyum ke arahku kemudian dia mengacungkan kedua jempol tangannya ke arahku.
“Aku salut denganmu. Aku bangga menjadi temanmu.”
Kami
melanjutkan makan siang kami, menikmati hawa dingin yang menyapu permukaan
kulit. Aku percaya bahwa kebahagiaan hidup itu kuncinya
adalah selalu percaya bahwa Allah akan selalu bersama kita kapanpun, dimanapun
dan dalam keadaan apapun. Selalu bersyukur atas nikmat hidup yang telah Allah
berikan ke kita, baik yang kita sadari atau tidak.
Aku
yakin memilih jalan yang benar, jika aku membatasi pergaulan dengan lawan jenis
bukan berarti jodohku akan jauh. Suatu saat nanti pasti ada seorang pangeran yang
berani melamarku dengan tulus ke orang tuaku. Hah, dasar. Aku terlalu termakan
film-film Princess yang selalu aku tonton dulu. Entahlah terkadang aku lupa
kalau usiaku sudah 22 tahun.
---
Seharian
aku tidak pergi kemana-kemana selain sekedar berlari pagi di komplek rumah
saja. Hari pun sudah beranjak sore. Aku duduk-duduk di teras rumah menikmati
secangkir teh dengan buku ditangan kanan. Bapak dan Ibu sedang asyik
berbincang-bincang di dalam rumah. Aku terlalu terhanyut dengan cerita novel
yang sedang aku baca selain itu suasana sore ini sangat sempurna. Semburat
merah langit senja menghiasi lukisan indah Sang Pencipta. Beberapa jam lalu
sempat gerimis namun tak berapa lama mentari bersinar terang.
Aku
yakin jika aku seorang penulis pasti pemandangan seperti ini akan melahirkan
ide cerita yang indah, sayangnya aku hanya seorang pembaca dan pengagum. Tapi
aku bersyukur setidaknya aku masih bisa menikmati indahnya pemandangan sore
ini.
Busana
gamis abu-abu dan jilbab lebar berwarna pink menjadi pilihanku. Entahlah ini
adalah warna favoritku sejak sekolah. Semua barang-barang dan pakaianku selalu
berwarna abu-abu dan pink. Ibu juga tahu warna apa yang menjadi favorit anak
gadisnya ini. Tiba-tiba hatiku merasakan rindu
yang teramat dalam. Rindu pada siapa? Astagfirullah. Aku menutup bukuku dan
beranjak dari tempat dudukku.
“Assalamu’alaikum.”
Belum
sampai ke dalam rumah seseorang mengucapkan salam, ia memarkir motornya di
halaman rumah. Di adalah...
“Walaikum
salam. Angga?”
Dia
tersenyum dan mengangguk pelan. Aku masih terpaku dengan buku dan cangkir teh
yang masih digenggaman.
“Lhoh
nak Angga, mari masuk.” tiba-tiba Ibu keluar dari rumah dan menyambut Angga
dengan ramah. Aku mengekor di belakang mereka. Kenapa dia tiba-tiba datang ke
rumah? Jangan-jangan dia yang aku rindukan?
Kok bisa kebetulan ya?
“Bapak
ada, Bu?” tanya Angga pada Ibuku.
“Ada
di dalam, bentar ya saya panggilkan. Nak Angga kok jarang kemari ya?”
“Hehehe
iya Bu. Gak boleh sama Vella sering-sering datang ke rumah.” Angga cengengesan
dan mengejekku yang jelas tanpa sepengetahuan Ibu. Aku mengacuhkan Angga karena
ada sedikit rasa jengkel karenanya.
Bapak
keluar dan tersenyum ke Angga. Mempersilahkan Angga untuk duduk sedangkan Ibu
dan aku mempersiapkan minuman dan camilan. Samar-samar aku mendengar mereka
saling bercanda. Angga sudah mengenal keluargaku sejak kami mulai berteman di
SMA. Dia memang lumayan dekat denganku tapi masih sebatas pertemanan biasa atau
bisa disebut kami seperti sahabat.
“Pak,
saya kemari berniat ingin melamar Vella menjadi istriku.”
Seketika
aku menjadi patung saat meletakkan secangkir kopi dihadapan Bapak dan Angga.
Tangan dan kaki mendadak kaku. Aku juga tidak tahu kenapa reaksiku seperti ini.
Ibu mengetahui jika aku gugup seketika, beliau menarikku dan mendudukkanku di
sofa. Suasana masih hening dan tidak ada satupun dari kami yang bicara.
“Jadi
bagaimana jawabanmu, Nduk?” Bapak bertanya padaku. Aku menundukkan kepala tanpa
berani menatap satupun orang yang ada di ruangan ini. Ibu menggenggam tanganku
lembut, aku tahu beliau mencoba menenangkan kegugupanku.
“Aku...”
kalimatku menggantung hingga adzan Maghrib berkumandang. Bapak terdengar
menghela napas dan berdiri dari duduknya.
“Sebaiknya
kita sholat Maghrib dulu Angga. Mari.”
Angga
juga berdiri dan pamit bersama Bapak untuk menunaikan sholat Maghrib di masjid.
“Sholatnya
harus tetap khusyuk jangan sampai terganggu dengan jawaban yang akan kamu
berikan nanti ya Nduk.” nasehat Ibu padaku saat aku memakai mukena. Aku
mengangguk pelan dan mulai berniat sholat Maghrib.
Inikah
jawaban dari segala do’a yang aku panjatkan? Ya Allah, tiada nikmat yang lebih
membahagiakan selain nikmat yang Engkau berikan. Di ujung senja merah yang
begitu indah Engkau juga telah menorehkan kisah yang teramat indah dalam
hidupku. Jawabanku nanti adalah yang menentukan kisahku selanjutnya.
Tamat.
#OneDayOnePost
#tantanganminggukeempat
April Cahaya
Pati, 18 April 2016
Ciee udah tuntasi tema, keren pril
ReplyDeleteYoshh!! Makasih Bang.
DeleteWah keren. Sudah setor tantangan.
ReplyDeleteYup... iya mbak sudah dipersiapkan hehehee
DeleteAku blm dapat ide bahkan ...
ReplyDeleteLuar biasa Pril
Ayoo mas. Korek-korek ide dimana saja.
DeleteBaguuuusss April, happy ending
ReplyDeleteDaripada sad ending mbak.. baper mulu klo sad ending ntar
DeleteAaahhh...perlu belajar darimu untuk bikin cerita yang bagus nih.
ReplyDeleteBelajar dengan siapa saja boleh mbk.
DeleteAku suka ceritanya... Happy ending... Sweet deh...
ReplyDeleteKeren udah melunasi tantangan minggu ini ^^
ReplyDeleteManis. :)
ReplyDeleteDuh... Pengen jadi vella nya..
ReplyDelete