Fall Down


Its hurts so much not to have  you by my side. Not to be around you. Not to be with you.You’re the pain that I won’t give up.


---
            Tak pernah sekalipun aku membayangkan jika aku menatap pagi tanpamu. Berjalan gontai menyusuri trotoar yang mulai banyak dilalui oleh kendaraan bermotor. Udara dingin menyeruak ke permukaan kulit yang tak tertutup sepenuhnya. Aku tahu tempat tinggalku sekarang bukan di pegunungan tapi udara pagi ini tidak kalah dengan hawa dingin mencekat seperti di dataran tinggi.

            Semakin kueratkan jaket yang kupakai, berharap aku segera sampai di kantor tempatku bekerja. Pikiranku masih kacau bahkan aku tidak fokus berjalan hingga menabrak beberapa tiang ataupun tersandung batu di jalan.

            Ya, aku kacau sejak beberapa hari yang lalu. Entah mimpi buruk apa yang telah menghantuiku hingga aku bernasib malang. Miris dan mengenaskan. Jika aku seekor burung, aku memang terlihat mempunyai sepasang sayap namun aku tidak bisa terbang. Aku tidak dapat tersenyum dan terbang menuju langit biru. Aku hanya bisa meringkuk dibawah kardus bekas dan berlindung dari derasnya hujan yang mengguyur.

            “Sial.” Gerutuku ketika hujan melesat turun dengan derasnya sebelum aku menemukan kendaraan umum yang akan membawaku ke tempat kerja.

            Inginku mengutuk hujan yang turun pagi ini, tapi aku tak bisa. Bukankah hujan adalah anugerah dari Tuhan, maka aku tidak berhak untuk membenci hujan pagi ini. Melihat tetes demi tetes air hujan yang turun dari atap halte bus, membuatku mengingat tetesan air mataku sendiri pada malam itu.

            Sakit yang teramat sakit hingga aku tak bisa menahannya sedikitpun. Kecewa, ya aku sangat kecewa dan hatiku benar-benar hancur. Inginku bertanya padamu, masihkah kau punya hati? Apakah kamu manusia atau cuma makhluk lain yang menyamar menjadi manusia?

            Satu kalimat yang selalu aku gumamkan akhir-akhir ini. Aku membencimu.

--

            “Mau berapa  kali kamu mengulangi kesalahan yang sama? Jika kamu sudah tidak serius kerja segera ajukan surat pengunduran dirimu secepat mungkin.” Suara bentakan itu terdengar memekakkan telinga diiringi lemparan map yang begitu keras di mejaku.

            Tatapanku kosong melihat beberapa lembar dokumen yang ada di map itu telah berhamburan keluar. Seseorang yang kukenal bernama Rina memungut lembaran-lembaran itu. Sedangkan tubuhku masih belum bergerak sedikitpun.

            “Ya ampun, Luna. Sampai kapan kamu akan seperti ini? Hidupmu terlihat kacau.”

            “Entahlah, sepertinya aku memang harus resign dari sini. Maaf, Rin. Aku harus pergi.” Jawabku sedikit acuh dengan perhatian Rina. Aku membereskan meja kerjaku, menyambar tasku dan pergi meninggalkan Rina yang masih mematung di tempatnya berdiri.

            Inginku menutup telinga agar aku tidak mendengar semua nasehat-nasehat yang keluar dari mulut orang-orang disekitarku. Aku tidak tahu itu bentuk perhatian atau hanya rasa simpati sementara. Antara ketulusan dan kemunafikan, semuanya terlihat samar.

            “Sudahlah, Rin. Ngapain kamu repot-repot mengurus si Luna. Derita orang yang ditinggal menikah cowoknya ya begitu kan.” Aku mendengar bisik-bisik dari orang-orang kantor, itulah mengapa aku ingin menutup telingaku rapat-rapat. Mengasingkan diri hingga tidak ada satupun yang akan mengusikku.

            Aku benci mendengar semua ocehan itu, mereka tidak pernah tahu bagaimana rasanya berada di posisiku. Bahkan aku terkesan menjadi bahan lelucon bagi mereka, apalagi yang membenciku. Semuanya... akan mengingatkanku pada laki-laki yang telah menorehkan luka teramat dalam ini. Aditya Pramono, selamanya aku membencimu.

--

            Aroma khas kopi arabica yang kini mengepul hangat di depanku menjadi perpaduan yang pas di saat hujan masih setia menghiasi malam. Pagi tadi, aku sudah mengajukan surat pengunduran diri ke perusahaan. Sepertinya aku memang benar-benar kacau. Aku harus pergi.

            Tentang kafe dan kopi, lagi-lagi aku mengingat Adit. Kenapa dia selalu muncul? Aku ingin sebentar saja merasakan ketenangan tanpa mengingatnya. Tuhan... apa yang salah denganku?

            “Hai, Luna. Apa kabar?”

            Ya Tuhan, sampai-sampai saat ini aku bisa mendengar suaranya. Suara Adit yang menyapaku. Aku memejamkan mata, mencoba mengusir segala bayang dan suaranya dari ingatanku. Jika ada satu alat yang mampu membuatku melupakannya maka tanpa ragu aku akan membelinya sekarang juga.

            “Luna, kamu baik-baik saja kan?”

            Suara itu lagi. Tidak, ini terdengar sangat nyata. Aku tidak mungkin berhalusinasi.

            “Luna?”

            Aku membuka mataku yang sebelumnya terpejam, disaat itu juga mata kami bertemu. Mata teduh itu kembali menatapku, menjadikan rasa sakitku semakin perih. Ya benar, Adit sekarang berada di depanku. Ia nyata dan bukan khayalanku belaka. Tanpa aku sadari air mataku mengalir. Aku terisak, membekap mulutku sendiri sebelum aku menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung kafe.

            “Pergi kamu.” ucapku lirih di sela tangisan. “Aku tidak mau melihatmu lagi.”

            “Luna, maafkan aku. Aku...”

            Aku hanya bisa menangis dan menangis. Hatiku merasa dihujam seribu belati sekaligus hingga rasanya tak bisa aku ungkapkan lagi. Tangan Adit berusaha meraihku namun aku mundur menghindarinya. Sempat kulirik jemarinya yang kini telah tersemat cincin pernikahan membuatku terbanting dan pecah berkeping-keping.

            “Luna, beri aku waktu menjelaskan semuanya.”

            Aku menggeleng kuat kemudian aku bergegas meninggalkan kafe itu. Hujan sudah mulai reda, aku terus berjalan tanpa tahu kemana arah dan tujuanku. Aku hanya perlu pergi sejauh mungkin agar Adit tidak mengejarku. Mungkin aku terlalu percaya diri jika Adit berusaha mengejarku saat ini. Tidak mungkin.

            Kini lukaku semakin menganga lebar. Kenyataan aku tak bisa berada di sampingmu lagi, aku tak bisa memilikimu lagi menjadi cerita pilu musim ini. Musim penghujan yang tak menentu selalu membawa luka yang tak pernah usai. Sampai kapan aku akan terjatuh dan terpuruk dalam kenangan kelam tentangnya?

--

            “Biarkan aku pergi. Bukankah hal ini yang kamu inginkan?” kata-kataku lebih mirip dengan sebuah bisikan, hampir tidak terdengar. Namun Adit masih bisa mendengarnya.

            Siapa yang telah memberitahunya jika hari ini hari keberangkatanku ke Inggris? Siapa yang telah berani mengijinkan dia menemuiku saat ini? Semua ini hanya akan membuatku semakin tersiksa.

            Tiap kata yang keluar dari bibirnya hanya kata maaf, dan aku membencinya. Apa hanya dengan kata maaf luka hatiku dapat sembuh? Tidak.

            “Aku muak mendengar kata maaf darimu, Adit.” Aku berusaha melepas genggaman tangannya. Aku mundur beberapa langkah dari hadapannya. Ia menatapku nanar, kulihat matanya mulai berkaca-kaca. Berhenti seolah-olah kamu kehilangan diriku Adit, aku membencimu.

            “Luna... semuanya bukan kehendakku. Aku terpaksa melakukannya. Karena mereka telah menjebakku dan tanpa sadar melakukan hal itu. Sungguh aku tidak bermaksud...”

            “Tapi kamu telah melakukannya bukan? Urus istri dan anak kamu yang masih dikandungnya. Aku tidak membutuhkan penjelasanmu lagi. Permisi.” Aku menyeret koper besar milikku dan pergi dari hadapannya.

            Dulu aku jatuh dipelukanmu karena aku telah merasakan cinta dan kini aku telah jatuh dalam jurang luka yang kau buat. Sungguh ironi yang teramat menyakitkan dan ini terjadi denganku.

            Kapan aku bisa melupakanmu? Kapan aku bisa hidup tanpa bayang wajahmu lagi? Dan kapan aku mampu bangkit dan sembuh dari luka hati? Aku tidak tahu...

            Aku pergi... bukan karena aku menghindar dari masalah namun aku ingin menyembuhkan luka. Luka yang aku tidak tahu sampai kapan akan tetap tertanam dalam hati. Luka yang membuatku terpuruk dan terjatuh.

The end..




---


#tantanganbaper
#OneDayOnePost



April Cahaya
Pati, 22 Juni 2016




10 comments:

  1. Wow..baper beneran nih. 😭😭

    ReplyDelete
    Replies
    1. Puk puk mbak Na... nih lap pel buat ngelap tuh ingus mbak Na

      Delete
  2. Wafer ...
    Renyah berbalut cream mocca yg pahit 😂😂

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. Yahh bapernya harus beneran.. klo perlu bikin termehek2. Hahaha

      Delete
  4. Hhhh... april... april... ih amit2 jangan sampe jadi luna. #getok2 meja

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kan terinspirasi dari mbak Ana.. mak Pinnih..

      Sidang ya? Kok make getok meja? Kekekeke

      Delete
  5. Mbak April, aku jadi ingat yang tidak-tidak T.T

    ReplyDelete