Gerimis Pagi - Bab 8


Siang hari yang panas itu paling enak kalau minum es kelapa muda. Sedari tadi selama kuliah berlangsung Dewi sudah membayangkan betapa segarnya minum es kelapa muda. Dahaga yang mencekik dari sejam yang lalu membuat tenggorokan Dewi serasa berdemo. Sayangnya air putih yang di bawa Dewi tidak dingin, jadi serasa ada yang kurang.

“Net, habis ini beli es kelapa muda ya.”

“Eh? Kamu nyidam?” tanya Inet heran dengan Dewi yang tiba-tiba ingin membeli es kelapa muda.

“Ngawur, bukan Inet. Lagi ingin aja.” jawab Dewi.

“Yaudah deh, sepertinya enak diminum siang-siang gini. Seger.”

Dewi dan Inet menikmati es kelapa muda di sebuah warung yang ada di pinggir jalan. Rasa haus yang menerornya kini sudah terbayar dengan sempurna. Dewi teramat menikmati segelas esnya sedangkan Inet asyik sendiri dengan handphone. Handphone Dewi berdering dengan nada panggilan lagu Harris J yang masih setia tersetting di sana.

“Aku lagi minum es kelapa muda sama Inet. Emang kenapa, Lang?” Percakapan Dewi di telepon mampu mengalihkan perhatian Inet dari gadgetnya saat ia sekilas mendengar nama Gilang disebut.
“Hem, kamu ke sini aja juga gak apa-apa. Aku free kok udah gak ada jam kuliah, abis ini juga mau pulang.” Inet yakin jika yang telepon itu adalah Gilang. “Oh oke deh. Aku tunggu ya.”

“Siapa Wi?” tanya Inet saat Dewi memutus sambungan teleponnya dengan Gilang. Meski Inet tahu yang tadi itu pasti Gilang namun ia ingin memastikannya sendiri.

“Oh itu tadi Gilang. Katanya mau ngomong sesuatu sama aku. Aku suruh aja ke sini sekalian.” jawab Dewi diikuti anggukan kepala oleh Inet. Entah kenapa sebenarnya Inet ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan Gilang. Tapi apakah ia pantas menanyakan sesuatu yang tidak penting seperti itu. Amatlah canggung jika sang empunya tahu, bisa-bisa Inet dikira kepo.

Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna putih menepi di pinggir warung tempat dimana Dewi dan Inet berada.

--

Jika saja semua hati manusia dapat ditebak dengan mudah, tidak akan ada satupun perasaan yang bisa disembunyikan dengan rapi tanpa orang lain tahu. Bisa saja seseorang terlihat biasa saja namun siapa yang tahu jika hatinya sedang berkecamuk. Pergolakan batin lebih rumit dibanding rumus Matematika yang paling sulit sekalipun. Andai semua manusia saling mengerti perasaan masing-masing, apakah mungkin tak ada hati yang tersakiti?

Dewi memainkan sendok yang berada di dalam gelas es kelapa mudanya yang sudah habis. Ada berbagai pemikiran rumit yang ada di dalam kepalanya. Entah apa itu.

“Wi...” panggil Gilang yang berada di samping Dewi. “Dewi.” Panggil Gilang sekali lagi, namun Dewi masih bergeming.

Sebuah tepukan lumayan keras mendarat di pundak Dewi. Dewi sedikit berjingkat karena kaget.
“Emang gitu Bang Gilang. Akhir-akhir ini Dewi sering banget ngelamunnya.” celetuk Inet.

“Oh pantes, aku panggil sampai berbusa pun nih mulut gak bakalan denger.”

“Heh? Eh.. maaf, Lang.” rajuk Dewi meminta maaf ke Gilang. Ia tidak bermaksud mengbaikan Gilang tapi ia akui jika tadi sempat melamun sedikit. Inet ijin ke toilet sebentar. Gilang melirik memastikan jika Inet benar-benar sudah pergi. Ia menghela napas perlahan. Gilang berusaha meyakinkan hatinya. Gilang tahu jika ini bukan waktu yang tepat dan bukan tempat yang pas, namun jika bukan sekarang kapan lagi dia bisa senekat ini. Bahkan ia sudah mempersiapkan segala konsekuensinya. Ia sudah mempersiapkan sebuah tameng yang akan membuatnya tetap tegar.

“Wi, aku ingin mengatakan sesuatu ke kamu.” ucap Gilang hati-hati.

“Iya trus? Tadi kan kamu udah bilang di telepon jika kamu ingin ngomong sesuatu ke aku.” pandangan Dewi masih menunduk.

“Aku tahu ini salah tapi aku tidak mungkin menyalahkan diriku sendiri, Wi.”

“Maksudnya?” Dewi bingung sendiri dengan apa yang Gilang katakan.

“Jadi gini Wi... sebenarnya aku menyukaimu sejak lama.” ucapan Gilang terhenti sejenak, “Ah tidak. Tepatnya aku sangat mencintaimu, Wi.”


Seperti tertimpa pohon besar yang tumbang... seketika Dewi linglung. Ucapan Gilang bagai sekumpulan lebah yang berdengung di telinga Dewi. Bahkan lidah kelu tak bisa berkata sepatah katapun untuk menanggapi pernyataan Gilang. Sepasang telinga satu lagi berhasil mendengar tanpa sengaja sebuah pengakuan cinta itu. Sudut matanya sedikit berair meninggalkan setitik luka yang belum terlihat dengan jelas.



Bersambung...



#OneDayOnePost

April Cahaya
Pati, 13 Mei 2016

7 comments:

  1. Kasihan inet..😢😢

    ReplyDelete
  2. Dan jawabannya adalah......... eng ing eng. mhihi semoga bukan kalimat jalani aja dulu yang sering gantung

    ReplyDelete
  3. Wah, wah, gilang.. nembaknya gak liat sikon ya :D he3x..
    Lanjutkan mbak April.

    ReplyDelete
  4. Tuh kaaaaannnn bener...#bakar menyan..😅

    ReplyDelete