Gerimis Pagi - Bab 9


“Jadi gini Wi... sebenarnya aku menyukaimu sejak lama.” ucapan Gilang terhenti sejenak, “Ah tidak. Tepatnya aku sangat mencintaimu, Wi.”

Perkataan Gilang kemarin siang masih terngiang di ingatan Dewi. Sudah berapa kali Dewi mencoba melupakan sejenak kejadian kemarin namun selalu gagal. Ia tahu jika ini salah, pasti pikirannya terlalu semrawut dengan hal-hal yang tak seharusnya mengganggu. Banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan, misalnya tugas kuliah mungkin.

Dewi gelisah sendiri di atas tempat tidur, meski sudah selesai sholat pikirannya masih saja berkecamuk. Mungkin Dewi kurang mendekatkan diri kepada Sang Ilahi hingga hatinya masih tak tenang. Apa yang ada di hati dan pikirannya seakan saling menasehati. Memutuskan mana yang terbaik itu teramat sulit.

Jika esok kembali datang, jawaban seperti apa yang akan diberikan kepada Gilang? Saat Gilang mengatakannya dengan terang-terangan di depan Dewi, tapi ia bergeming. Tak ada satu patah katapun yang mampu ia ucapkan. Ingin berucap maaf pada Gilang, namun lidahnya kelu. Tapi ia tidak mungkin berkata iya.

Mungkin jalan terakhir yang harus dipilih Dewi adalah pasrah kepada-Nya. Otaknya sudah mampet jika harus memikirkan solusi terbaik untukknya. Apa boleh Dewi curhat dengan Ibu? Ah tidak, itu terlalu ekstrem bagi Dewi.

Dewi memilih memejamkan matanya dan berdo’a semoga di saat bangun nanti ia menemukan ide cemerlang untuk jawabannya kepada Gilang.

--

“Net, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu.”

            Inet menoleh sekilas ke Dewi sebelum ia kembali tenggelam dalam cerita bukunya.
           “Ini tentang Gilang, kemarin dia...”

      “Aku sudah tahu.” potong Inet membuat kata-kata Dewi terhenti. “Iya aku denger sendiri kemarin.” lanjutnya. Dewi masih terbengong dengan apa yang baru saja Inet ucapkan. Jadi kemarin itu Inet mendengar semuanya?

            “Jadi... Net.” Dewi menggantung kalimatnya

          “Gilang menyatakan perasaannya ke kamu. Jadi gimana keputusanmu? Jika dia memang serius denganmu suruh Gilang melamarmu. Ingat jangan pacaran. Pacaran gak ada di kamus kita.”

            Dewi mengangguk pelan. Ia semakin bingung. Ia tahu apa yang harus dikatakannya tapi ia tak tahu kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Gilang.

      “Aku pikir... aku tidak bisa menerima perasaan Gilang, Net.” ucap Dewi. Inet terpaku memandang bukunya dengan tatapan kosong. Inet menarik napas sangat pelan kemudian ia berbicara perlahan kepada Dewi.

            “Jika memang itu keputusanmu... susunlah kata-kata yang baik agar Gilang tidak sakit hati.”

         “Nah itu yang ingin aku tanyakan ke kamu, Net. Bisa bantu aku kan?” Dewi harap-harap cemas. Ia sangat membutuhkan bantuan Inet. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan Inet.

        “Maaf, Wi. Sepertinya aku gak pandai berkata-kata deh.” jawab Inet seraya berdiri dari kursinya. Ada sekelebat perasaan curiga untuk Inet, namun Dewi mengabaikannya. Mungkin itu hanya firasat aneh yang Dewi yakini hanya pemikiran yang tidak penting. “Jahatnya kamu, Net.”

            “Ah aku mau ke perpus dulu deh, bye bye Dewi. Assalamu’alaikum.” pamit Inet kemudian melenggang pergi meninggalkan kelas. Dewi membalas salam Inet pelan dengan rasa kecewa.


Agak aneh dengan sikap Inet tapi Dewi tak tahu apa. Apakah dia salah ucap tadi? Apakah dia menyinggung perasaan Inet? Tidak mungkin, Dewi pikir ia sudah sangat berhati-hati untuk membicarakan hal ini. 



Bersambung....



#OneDayOnePost

April Cahaya
Pati, 17 Mei 2016

6 comments: