“Jadi gini Wi...
sebenarnya aku menyukaimu sejak lama.” ucapan Gilang terhenti sejenak, “Ah
tidak. Tepatnya aku sangat mencintaimu, Wi.”
Perkataan
Gilang kemarin siang masih terngiang di ingatan Dewi. Sudah berapa kali Dewi
mencoba melupakan sejenak kejadian kemarin namun selalu gagal. Ia tahu jika ini
salah, pasti pikirannya terlalu semrawut dengan hal-hal yang tak seharusnya
mengganggu.
Banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan, misalnya tugas kuliah mungkin.
Dewi
gelisah sendiri di atas tempat tidur, meski sudah selesai sholat pikirannya
masih saja berkecamuk. Mungkin Dewi kurang mendekatkan diri kepada Sang Ilahi
hingga hatinya masih tak tenang. Apa yang ada di hati dan pikirannya seakan
saling menasehati. Memutuskan mana yang terbaik itu teramat sulit.
Jika
esok kembali datang, jawaban seperti apa yang akan diberikan kepada Gilang?
Saat Gilang mengatakannya dengan terang-terangan di depan Dewi, tapi ia
bergeming. Tak ada satu patah katapun yang mampu ia ucapkan. Ingin berucap maaf
pada Gilang, namun lidahnya kelu. Tapi ia tidak mungkin berkata iya.
Mungkin
jalan terakhir yang harus dipilih Dewi adalah pasrah kepada-Nya. Otaknya sudah
mampet jika harus memikirkan solusi terbaik untukknya. Apa boleh Dewi curhat
dengan Ibu? Ah tidak, itu terlalu ekstrem bagi Dewi.
Dewi
memilih memejamkan matanya dan berdo’a semoga di saat bangun nanti ia menemukan
ide cemerlang untuk jawabannya kepada Gilang.
--
“Net,
ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu.”
Inet menoleh sekilas ke Dewi sebelum
ia kembali tenggelam dalam cerita bukunya.
“Ini tentang Gilang, kemarin dia...”
“Aku sudah tahu.” potong Inet
membuat kata-kata Dewi terhenti. “Iya aku denger sendiri kemarin.” lanjutnya.
Dewi masih terbengong dengan apa yang baru saja Inet ucapkan. Jadi kemarin itu
Inet mendengar semuanya?
“Jadi... Net.” Dewi menggantung
kalimatnya
“Gilang menyatakan perasaannya ke
kamu. Jadi gimana keputusanmu? Jika dia memang serius denganmu suruh Gilang
melamarmu. Ingat jangan pacaran. Pacaran gak ada di kamus kita.”
Dewi mengangguk pelan. Ia semakin
bingung. Ia tahu apa yang harus dikatakannya tapi ia tak tahu kata-kata yang
tepat agar tidak menyinggung perasaan Gilang.
“Aku pikir... aku tidak bisa
menerima perasaan Gilang, Net.” ucap Dewi. Inet terpaku memandang bukunya
dengan tatapan kosong. Inet menarik napas sangat pelan kemudian ia berbicara
perlahan kepada Dewi.
“Jika memang itu keputusanmu...
susunlah kata-kata yang baik agar Gilang tidak sakit hati.”
“Nah itu yang ingin aku tanyakan ke
kamu, Net. Bisa bantu aku kan?” Dewi harap-harap cemas. Ia sangat membutuhkan
bantuan Inet. Ia
menangkupkan kedua tangannya di depan Inet.
“Maaf, Wi. Sepertinya aku gak pandai
berkata-kata deh.” jawab Inet seraya berdiri dari kursinya. Ada sekelebat
perasaan curiga untuk Inet, namun Dewi mengabaikannya. Mungkin itu hanya
firasat aneh yang Dewi yakini hanya pemikiran yang tidak penting. “Jahatnya
kamu, Net.”
“Ah aku mau ke perpus dulu deh, bye
bye Dewi. Assalamu’alaikum.” pamit Inet kemudian melenggang pergi meninggalkan
kelas. Dewi membalas salam Inet pelan dengan rasa kecewa.
Agak
aneh dengan sikap Inet tapi Dewi tak tahu apa. Apakah dia salah ucap tadi?
Apakah dia menyinggung perasaan Inet? Tidak mungkin, Dewi pikir ia sudah sangat
berhati-hati untuk membicarakan hal ini.
Bersambung....
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 17 Mei 2016
Inet cemburu kah
ReplyDeleteSepertinya Inet suka dengan Gilang
ReplyDeleteDuhh... Inettt...
ReplyDeleteInet tuh cemburu Dew.
ReplyDelete😌😒 dikasi tau gak percaya sih.😝
Inet knp????
ReplyDeleteTabahkan hatimu net..stay strong..💪💪💪
ReplyDelete