Kenangan itu bagaikan hawa dingin yang menusuk tajam ke dalam paru-paru. Menyisakan rasa sengau pada hidung tak pelak air mata pun ikut menetes bersamanya.
Langkah kakinya terasa berat
menapaki jalan yang berair akibat seharian diguyur hujan lebat. Hal sama yang
selalu ia keluhkan tentang musim sekarang. Sudah berhari-hari tak pernah turun
hujan, jangankan hujan setetes gerimis saja tidak pernah hadir melainkan sang
surya selalu dengan sombongnya menantang hari.
Jaket abu-abu yang ia kenakan tak
mampu menghalau udara dingin yang menyapa kulit. Jarak rumahnya masih beberapa
meter lagi tapi berasa berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Tiba-tiba saja
kenangan dua tahun lalu kembali melintas dalam pikiran gadis usia 23 tahun itu.
“Pakai
jaket yang tebal, Ra. Badan kamu itu cepat menggigil jika udara sedingin ini.”
ucap laki-laki berpostur tegap dengan tinggi 183 cm itu. Gadis yang dipanggil
Ra itu hanya tersenyum menanggapi.
“Nggak apa-apa bentar lagi juga sampai rumah kok.”
jawabnya.
“Rara, sampai kapan kamu selalu membantahku?” suara itu
terdengar pelan namun tajam. Dilihatnya manik mata hitam pekat itu dengan
seksama, Rara tidak menemukan nada bercanda di sana.
“Okey, maafin aku. Edo.” ucap Rara lirih.
“Apa
yang aku pikirkan?” gumam Rara lirih. Ia mengusap setitik air mata yang lolos
di sudut matanya.Kemudian ia menggeleng pelan dan melanjutkan langkah kakinya
yang sempat terhenti.
Kenangan
manis, pahit ataupun masam bersama Edo akan selalu melintas setiap saat di
benak Rara. Menjadi duri yang setiap saat akan membawa luka dan rasa perih. Ia
tidak akan lupa segala hal tentang Edo, sekeras apapun Rara berusaha
melupakannya.
--
“Jarang
banget kan kita bisa kumpul gini. Cieh... yang sekarang sibuk banget kerja
kantoran.” Mita menyenggol lengan Dila keras.
Wajah
Rara terlihat bingung dengan sindiran yang baru saja dilayangkan untukknya,
seketika kedua temannya tertawa.
“Apaan
sih kalian.”
“Nggak
apa-apa.” jawab Mita dan Dila bersamaan.
Suasana
kafe yang baru beberapa bulan lalu berdiri itu ramai dikunjungi kaum muda pada
malam minggu. Tempat yang nyaman dan menu-menu yang cukup dibilang paling
beragam membuat siapa saja betah dan tertarik berlama-lama di sana.
Entah
mengapa kafe menjadi tempat favorit bagi Rara, tempat yang selalu menjadi
kenangan paling manis seperti chocolate milk float kesukaannya.
“Eh
tau nggak, barista di sini cakep lho.” celetuk Dila disela-sela mereka
menikmati pesanan masing-masing. Kening Rara berkerut mendengar ucapan Dila.
Selalu dan selalu, bagi Dila dimanapun ia berada radar cowok cakep selalu dapat
terdeteksi olehnya.
“Mata
lo itu selalu peka ya kalau soal gituan.” Kali ini Mita yang menanggapi ucapan
Dila.
“Nah
itu wajib.” balas Dila sambil cengengesan.
“Dasar.”
hanya satu patah kata yang diucapkan Rara dengan senyuman kecut. Ia kembali
teringat akan kenangannya bersama Edo. Pertemuan pertamanya bersama Edo di
sebuah kafe. Dimana Edo dulu juga seorang barista kafe yang selalu dikagumi oleh
cewek-cewek pengunjung kafe. Ketampanan Edo mungkin terlalu terpancar hingga
mampu melelehkan semua pandangan yang tertuju padanya, tak terkecuali Rara.
Saat itu pandangan Rara
bertemu dengan mata hitam pekat milik Edo. Seketika wajah Rara memerah dan
mengalihkan pandangannya pada hal lain. Ia hanya penasaran dengan perbincangan
teman-temannya yang mengatakan jika barista kafe itu sangatlah tampan. Ternyata
itu benar adanya, Rara merutuki dirinya sendiri kenapa dengan bodohnya ia
tertangkap basah oleh laki-laki itu. Dimana ia harus menyembunyikan wajahnya
yang memerah?
“Lo kenapa Ra?” tanya
Mita kala itu. Rara hanya menggeleng keras dengan kepalanya yang masih
menunduk. Tanpa Rara sadari sebuah senyuman manis muncul dari laki-laki di
balik meja barista itu. Laki-laki yang sempat bertemu pandang dengan Rara.
Tiba-tiba
Rara tersentak kaget ketika Dila menepuk pelan pundaknya. Ia baru tersadar jika
sedari tadi ia melamun. Lagi, memikirkan tentang Edo dan segala kenangan yang
tertinggal.
--
“Maaf, Ra. Mungkin ini
yang terbaik.” ucap Edo pada akhirnya setelah perdebatan panjangnya dengan
Rara. Hubungan mereka harus berakhir begitu saja. Edo harus menuruti perintah
paman dan bibinya yang telah menjodohkannya dengan gadis lain. Paman Edo
terlalu licik dengan mengancam Edo jika ia tidak meninggalkan Rara dan menerima
perjodohan itu maka pengobatan adiknya akan dihentikan. Edo tidak bisa berbuat
lebih hanya mengangguk tanda menyetujui semua yang diucapkan oleh pamannya.
“Tidak bisakah kita
berjuang bersama, Do?” tanya Rara dengan nada bergetar.
“Nggak bisa, Ra. Aku
nggak bisa.” ucap Edo lagi.
Air mata Rara mengalir
deras tanpa bisa berhenti, hatinya berasa tertancap duri dan terhantam aspal
yang keras. Teramat sakit jika harus dijelaskan. “Kamu pengecut, Do.” teriak
Rara.
“Ya, aku pengecut.
Maafin aku, Ra. Aku harus pergi sekarang.”
Punggung orang yang
sangat ia cintai itu perlahan menjauh dan pergi dari hidup Rara. Ia terduduk
membekap mulutnya sendiri mencoba meredam suara isak tangisnya. Semua harapan
indahnya hilang begitu saja, coretan masa depan indah bersama Edo terpaksa
harus terhapus oleh kenyataan yang tak mampu Edo dan Rara lawan.
“Rara
lo nangis?” tanya Mita memandang wajah Rara lekat.
Rara
cepat-cepat menghapus air matanya, kemudian ia menggeleng pelan dan tersenyum
ke Mita. “Nggak kok, cuma tadi pas gue menguap jadi keluar air mata.” Rara
menghela napas kasar. “Udah malem, pulang yuk.”
Mita
dan Dila mengangguk menyetujui ajakan Rara. Jam sudah menunjukkan pukul 11
malam terlalu larut jika mereka adalah sekumpulan anak gadis meski umur mereka
sudah masuk dalam kategori dewasa.
Saat
berada di halaman kafe Rara menoleh kembali ke arah kafe. Semua kenangan itu
akan tetap terukir di dalam benaknya tanpa bisa dihapus oleh apapun. Dan
disetiap sudut kafe yang ia datangi akan membawanya larut dalam kenangan
bersama Edo lagi. Entah dimana sekarang Edo berada dan bagaimana keadaannya,
Rara hanya berharap Edo akan selalu baik-baik saja meski tanpanya. Dan Rara
berharap jika dirinya akan tetap bahagia tanpa Edo, tanpa kehadiran Edo
disampingnya.
Biarlah
Rara tetap memeluk kenangan yang masih mampu ia ingat dengan baik. Hingga suatu
saat Rara bisa menemukan pengganti Edo dalam hatinya. Sebuah senyuman ringan
muncul di bibir merah Rara kemudian kakinya kembali melangkah meninggalkan
kafe.
You’ll be my sweet memory forever. I’ll remember everything about you in my mind.
--
April Cahaya
Pati, 16 Juni 2016
hua...hua..baper aku pril
ReplyDeleteiya baper jadinya
ReplyDeletekenangan tak pernah bisa di lupakan
Kenangan..wah... terlalu sayang dilupakan
ReplyDeleteJadi mengingatkanku pada kenangan bersama Cah Kae :)
ReplyDelete