2
tahun kemudian...
Senyuman itu terus merekah begitu
Dewi memasuki kantor yang hampir satu tahun menjadi rumah ketiganya. Setiap
harinya ia telah bergelut dengan pekerjaan yang menumpuk dan selalu
dikejar-kejar deadline.
Jabatannya masih sekedar staf biasa
namun Dewi tidak patah semangat. Kesuksesan itu berawal dari hal kecil yang
ditekuni. Ia yakin itu. Dewi berhasil membuktikan pada kedua orang tuanya jika
ia mampu sukses. Sukses mencapai apa yang diinginkannya.
“Pagi, mbak Dewi.” Sapa seseorang
begitu Dewi duduk di kursinya.
“Pagi
juga mbak Anis.”
Seperti hari-hari biasa Dewi akan
disibukkan dengan kerjaan dari atasannya yang super galak. Tapi dibalik
sifatnya yang galak sebenarnya atasannya adalah orang yang sangat peduli dengan
bawahannya. Mungkin galaknya itu hanya kamuflase.
“Mbak, Dew. Nanti siang kita coba menu baru yuk buat makan siang. Kemarin aku denger dari salah satu temanku jika ada resto yang menjual tongseng iga yang super pedes. Manteb dah pokoknya.” Anis bercerita dengan antusias. “Kamu tidak lagi diet kan?”
“Mbak, Dew. Nanti siang kita coba menu baru yuk buat makan siang. Kemarin aku denger dari salah satu temanku jika ada resto yang menjual tongseng iga yang super pedes. Manteb dah pokoknya.” Anis bercerita dengan antusias. “Kamu tidak lagi diet kan?”
Dewi menggeleng, “Tidaklah mbak,
badan kurus gini mau diet? Kayak lidi dong nanti.”
“Kerja, ayo kerja. Jangan ngobrol terus.”
Tiba-tiba Pak Syaiful lewat di depan Dewi dan Anis. Mereka berdua seketika diam
tanpa berkutik sedikitpun. Itulah bos galak yang teramat peduli dengan
bawahannya.
--
“Hallo, Assalamu’alaikum.” salam
Dewi saat ia mengangkat telepon dari ayahnya.
Lama tidak ngobrol dengan ayahnya,
Dewi merasa sangat merindukannya. Setelah lulus kuliah Dewi melamar pekerjaan
di sebuah perusahaan. Karena jarak kantor dengan rumah lumayan jauh maka Dewi
memutuskan untuk kost di dekat kantor demi
menghemat
keuangan dan waktu.
Dewi akan pulang satu bulan sekali
namun hampir dua bulan ia tidak pulang. Banyaknya pekerjaan membuat Dewi enggan
pulang. Lebih baik ia pulang bulan depan saja.
“Dewi sedang makan siang, Yah. Ada
apa?”
“Kamu ndak pulang, Nduk?” tanya
Damaryono.
“Bulan depan, Yah. Banyak pekerjaan
yang harus Dewi selesaikan akhir-akhir ini.” jelas Dewi dengan halus. Ia harap
ayahnya mau mengerti apalagi ibunya. Wanita yang sangat ia sayangi itu pasti
sedang ngedumel di samping ayahnya. Dewi tahu itu.
"Bisa
pulang akhir minggu ini tidak, Nduk?" kata ayahnya kemudian mengalir
cerita dan hal penting yang ingin disampaikan oleh Damaryono.
Dewi meletakkan handphone-nya
setelah mendengar apa tujuan ayahnya menelepon. Ia masih menatap layar
handphone-nya dengan heran. Ada sesuatu yang membuatnya sedikit tidak percaya
dengan apa yang barusan ia dengar dari ayahnya.
“Mbak Anis, minggu ini aku boleh
ambil cuti 2 hari boleh tidak ya?”
--
Di perjalanan menuju rumah Dewi
habiskan dengan melamun. Memikirkan apa yang dikatakan ayahnya di telepon waktu
itu. Ada seorang laki-laki yang melamarnya. Dia sangat tampan kata ayahnya. Dia
mampu membuat ayahnya yakin jika laki-laki itu pantas untuk menjadi suami Dewi.
Pekerjaan laki-laki itu adalah
seorang guru sama seperti ayah Damar. Kata ayah Damar, ia sangat nyambung jika ngobrol
dengan laki-laki yang sudah diklaim ayahnya
sebagai calon menantu meski belum disetujui oleh Dewi.
Dewi memijit pelipisnya yang terasa
pening, apakah ini perjodohan lagi?
Ada yang aneh menurut Dewi,
laki-laki itu mengenalnya. Ya ia mengingat jika ayahnya mengatakan laki-laki
itu sudah cukup mengenal Dewi. Siapa
laki-laki itu?
Dewi menjatuhkan tasnya begitu ia
sampai di rumah. Salamnya dijawab serentak oleh tiga orang yang duduk di ruang tamu sedang
berbincang-bincang dengan santai. Mimpikah Dewi?
“Nah ini lho, Wi. Laki-laki yang
Ayah maksud. Kamu mengenalnya kan?” kata Ayah Damar.
“Ibu, setuju kok kalau kamu menikah
dengannya lho Nduk. Dia masuk kriteria menantu idaman Ibu.” sahut Ibu dengan
wajah yang bahagia.
Ekspresi wajah Dewi masih terkejut,
ia mengusap pelan setetes air mata yang tiba-tiba keluar. Apakah dia mimpi?
Atau ini hanya halusinasi saja?
“Mas...” ucapan Dewi menggantung
seakan ia masih tidak percaya jika laki-laki itu adalah... “Mas Dany.”
“Iya Dewi. Ini aku, bukan
kembarannya atau kloningannya.” Dany tersenyum lembut.
Ingin rasanya Dewi loncat-loncat sekarang
tapi itu tidak sopan. Ingin rasanya Dewi memeluk Dany seketika tapi belum sah sebagai suaminya.
Hatinya hanya bisa menjerit kegirangan. Begitu indah rencana Allah tanpa bisa
diduga dan ditebak.
“Jadi kamu mau kan menikah
denganku?” tanya Dany memastikan jika lamarannya diterima.
Dewi mengangguk dengan cepat
kemudian air matanya lolos lagi mengiringi kebahagiaan yang tak mampu ia
ucapkan.
TAMAT
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 28 Mei 2016
Ikut terhuraaaa
ReplyDeletehoreeee happy ending
udah kebanyakan sad ending mbak... sekali-kali
DeleteWah happy ending
ReplyDeleteBiar pembacanya seneng mbak
Delete