Gerimis Pagi - Bab 20


2 tahun kemudian...

            Senyuman itu terus merekah begitu Dewi memasuki kantor yang hampir satu tahun menjadi rumah ketiganya. Setiap harinya ia telah bergelut dengan pekerjaan yang menumpuk dan selalu dikejar-kejar deadline.

            Jabatannya masih sekedar staf biasa namun Dewi tidak patah semangat. Kesuksesan itu berawal dari hal kecil yang ditekuni. Ia yakin itu. Dewi berhasil membuktikan pada kedua orang tuanya jika ia mampu sukses. Sukses mencapai apa yang diinginkannya.

            “Pagi, mbak Dewi.” Sapa seseorang begitu Dewi duduk di kursinya.

            “Pagi juga mbak Anis.”

            Seperti hari-hari biasa Dewi akan disibukkan dengan kerjaan dari atasannya yang super galak. Tapi dibalik sifatnya yang galak sebenarnya atasannya adalah orang yang sangat peduli dengan bawahannya. Mungkin galaknya itu hanya kamuflase.            

           “Mbak, Dew. Nanti siang kita coba menu baru yuk buat makan siang. Kemarin aku denger dari salah satu temanku jika ada resto yang menjual tongseng iga yang super pedes. Manteb dah pokoknya.” Anis bercerita dengan antusias. “Kamu tidak lagi diet kan?”

            Dewi menggeleng, “Tidaklah mbak, badan kurus gini mau diet? Kayak lidi dong nanti.”

            “Kerja, ayo kerja. Jangan ngobrol terus.” Tiba-tiba Pak Syaiful lewat di depan Dewi dan Anis. Mereka berdua seketika diam tanpa berkutik sedikitpun. Itulah bos galak yang teramat peduli dengan bawahannya.

--
            “Hallo, Assalamu’alaikum.” salam Dewi saat ia mengangkat telepon dari ayahnya.

           Lama tidak ngobrol dengan ayahnya, Dewi merasa sangat merindukannya. Setelah lulus kuliah Dewi melamar pekerjaan di sebuah perusahaan. Karena jarak kantor dengan rumah lumayan jauh maka Dewi memutuskan untuk kost di dekat kantor demi menghemat keuangan dan waktu.

            Dewi akan pulang satu bulan sekali namun hampir dua bulan ia tidak pulang. Banyaknya pekerjaan membuat Dewi enggan pulang. Lebih baik ia pulang bulan depan saja.

            “Dewi sedang makan siang, Yah. Ada apa?”

            “Kamu ndak pulang, Nduk?” tanya Damaryono.

            “Bulan depan, Yah. Banyak pekerjaan yang harus Dewi selesaikan akhir-akhir ini.” jelas Dewi dengan halus. Ia harap ayahnya mau mengerti apalagi ibunya. Wanita yang sangat ia sayangi itu pasti sedang ngedumel di samping ayahnya. Dewi tahu itu.

            "Bisa pulang akhir minggu ini tidak, Nduk?" kata ayahnya kemudian mengalir cerita dan hal penting yang ingin disampaikan oleh Damaryono.

            Dewi meletakkan handphone-nya setelah mendengar apa tujuan ayahnya menelepon. Ia masih menatap layar handphone-nya dengan heran. Ada sesuatu yang membuatnya sedikit tidak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari ayahnya.

            “Mbak Anis, minggu ini aku boleh ambil cuti 2 hari boleh tidak ya?”

--

            Di perjalanan menuju rumah Dewi habiskan dengan melamun. Memikirkan apa yang dikatakan ayahnya di telepon waktu itu. Ada seorang laki-laki yang melamarnya. Dia sangat tampan kata ayahnya. Dia mampu membuat ayahnya yakin jika laki-laki itu pantas untuk menjadi suami Dewi.

            Pekerjaan laki-laki itu adalah seorang guru sama seperti ayah Damar. Kata ayah Damar, ia sangat nyambung jika ngobrol dengan laki-laki yang sudah diklaim ayahnya sebagai calon menantu meski belum disetujui oleh Dewi.

            Dewi memijit pelipisnya yang terasa pening, apakah ini perjodohan lagi?

            Ada yang aneh menurut Dewi, laki-laki itu mengenalnya. Ya ia mengingat jika ayahnya mengatakan laki-laki itu sudah cukup  mengenal Dewi. Siapa laki-laki itu?

            Dewi menjatuhkan tasnya begitu ia sampai di rumah. Salamnya dijawab serentak oleh tiga orang yang duduk di ruang tamu sedang berbincang-bincang dengan santai. Mimpikah Dewi?

            “Nah ini lho, Wi. Laki-laki yang Ayah maksud. Kamu mengenalnya kan?” kata Ayah Damar.

          “Ibu, setuju kok kalau kamu menikah dengannya lho Nduk. Dia masuk kriteria menantu idaman Ibu.” sahut Ibu dengan wajah yang bahagia.

            Ekspresi wajah Dewi masih terkejut, ia mengusap pelan setetes air mata yang tiba-tiba keluar. Apakah dia mimpi? Atau ini hanya halusinasi saja?

            “Mas...” ucapan Dewi menggantung seakan ia masih tidak percaya jika laki-laki itu adalah... “Mas Dany.”

            “Iya Dewi. Ini aku, bukan kembarannya atau kloningannya.” Dany tersenyum lembut.

            Ingin rasanya Dewi loncat-loncat sekarang tapi itu tidak sopan. Ingin rasanya Dewi memeluk Dany seketika tapi belum sah sebagai suaminya. Hatinya hanya bisa menjerit kegirangan. Begitu indah rencana Allah tanpa bisa diduga dan ditebak.

            “Jadi kamu mau kan menikah denganku?” tanya Dany memastikan jika lamarannya diterima.
          Dewi mengangguk dengan cepat kemudian air matanya lolos lagi mengiringi kebahagiaan yang tak mampu ia ucapkan.



TAMAT



#OneDayOnePost


April Cahaya
Pati, 28 Mei 2016

4 comments: