Gerimis Pagi - Bab 19


           Suasana pagi itu mendung tapi tidak hujan. Kali ini Dewi memasukkan jas hujannya dalam bagasi motor. Kecerobohannya selama ini mulai ia kurangi sedikit demi sedikit. Kenangan akan gerimis yang hadir di pagi hari dan letupan cinta yang muncul tanpa permisi meninggalkan kenangan dan luka tersendiri.

            Dewi kembali memasuki rumah, ia pamit kepada ibunya. Ayah Damar seperti biasa telah berangkat terlebih dulu. Kenangan itu kembali mnegusiknya. Membawa sejuta rasa rindu yang berusaha ia hilangkan. Semakin ia memaksa untuk melupakan, rasa itu semakin bertambah.

            Dewi menghela napas pelan, menghirup kembali udara pagi yang begitu sejuk. Ia menyalakan motornya dan pergi menuju kampus.

            Rasanya ada beban berat yang kini telah menguap meninggalkan jejak samar. Tiga orang laki-laki yang sempat mengusik hidupnya kini telah pergi. Ini semua karena permintaannya. Gilang, dia pergi karena Dewi tidak bisa membalas perasaannya. Hanya teman tidak lebih, itulah yang dipikirkan Dewi. Berbanding terbalik dengan Gilang yang teramat mencintainya.

            Heru, setelah perjodohan itu dibatalkan ia tidak pernah menemui Dewi dan keluarganya lagi. Dan satu lagi yang paling sulit Dewi lupakan, Dany. Sekuat apapun ingin melupakannya tetap saja ia selalu hadir dalam benak Dewi.

            Mimpi saat Dany melamarnya waktu itu selalu hadir ditiap malam. Dan sisa malamnya selalu ia habiskan dengan bertafakur kepada Allah. Meminta ketenangan hati dan pikirannya yang masih saja kalut.

            Sesampainya diparkiran Dewi langsung dihampiri Inet yang terlihat terburu-buru dengan wajah yang panik.

            “Gawat, Wi. Ayo cepatan. Kelas dimajuin, kita hampir terlambat ayo lah...” Inet menyeret Dewi menuju kelasnya. Tanpa disangka dan diguga kelas yang mereka ikuti pagi itu dimajukan lebih awal. Mereka yang tanpa persiapan jadi tergopoh-gopoh berlari berharap tidak terlambat mendarat di kelas.

            “Pelan-pelan dong, Net. Astagfirullah...” Dewi berusaha mengatur napasnya yang mulai tersengal-sengal.

--

            “Keputusanmu ekstrim juga, Wi.” ucap Inet tiba-tiba dikala rapat anggota rohis dibubarkan.
      Dewi menatap Inet dengan heran, apa sebenarnya yang dimaksud oleh sahabatnya itu. “Keputusan apa?”

            Inet tersenyum dan menggeleng kemudian berjalan keluar dari ruangan. Dewi mengekor di belakang Inet. Suasana kampus masih ramai, lalu lalang mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pikiran Dewi masih bergerilya berusaha menangkap apa maksud perkataan Inet.

            “Tunggu deh, Net. Maksud kamu ekstrim gimana coba?” tanya Dewi dengan nada polos.

            “Melepaskan tiga orang laki-laki sekaligus itu keren.” jawab Inet. Dewi melongo seketika.

         Dewi tersenyum dan tertawa mendengar penuturan Inet. Ia seperti menertawakan dirinya sendiri. Menurutnya ini adalah keputusan yang tepat baginya. Bukannya sok jual mahal atau bagaimana, tapi ini demi impiannya.

            Urusan jodoh ia akan tetap berusaha, suatu saat nanti pasti Allah akan mendatangkan seorang laki-laki yang mampu membuat hati Dewi benar-benar luluh. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin jika Allah berkehendak. Hidup itu harus penuh syukur bukan banyak mengeluh dan membuat hati selalu diselimuti kebimbangan dan keraguan.

            “Ngomong-ngomong... skripsimu sampai bab berapa, Wi?”

            Dewi tertawa lagi, “Pertanyaanmu sekarang lebih mengerikan dari yang awal, Net.”

            Mereka berdua tertawa bersama. Biarlah masa depan menyambut mereka tanpa masalah pelik yang membelenggu. Tapi... jika hidup tidak ada masalah dan cobaan seperti sayur tanpa garam, hambar tanpa rasa.


--


Bersambung....



#OneDayOnePost


April Cahaya
Pati, 28 Mei 2016

4 comments: