Suasana
pagi itu mendung tapi tidak hujan. Kali ini Dewi memasukkan jas hujannya dalam
bagasi motor. Kecerobohannya selama ini mulai ia kurangi sedikit demi sedikit.
Kenangan akan gerimis yang hadir di pagi hari dan letupan cinta yang muncul
tanpa permisi meninggalkan kenangan dan luka tersendiri.
Dewi kembali memasuki rumah, ia
pamit kepada ibunya. Ayah Damar seperti biasa telah berangkat terlebih dulu.
Kenangan itu kembali mnegusiknya. Membawa sejuta rasa rindu yang berusaha ia
hilangkan. Semakin ia memaksa untuk melupakan, rasa itu semakin bertambah.
Dewi menghela napas pelan, menghirup
kembali udara pagi yang begitu sejuk. Ia menyalakan motornya dan pergi menuju
kampus.
Rasanya ada beban berat yang kini
telah menguap meninggalkan jejak samar. Tiga orang laki-laki yang sempat
mengusik hidupnya kini telah pergi. Ini semua karena permintaannya. Gilang, dia
pergi karena Dewi tidak bisa membalas perasaannya. Hanya teman tidak lebih, itulah yang dipikirkan
Dewi. Berbanding terbalik dengan Gilang yang teramat mencintainya.
Heru, setelah perjodohan itu dibatalkan ia tidak pernah
menemui Dewi dan keluarganya lagi. Dan satu lagi yang paling sulit Dewi lupakan,
Dany. Sekuat apapun ingin melupakannya
tetap saja ia
selalu hadir dalam benak Dewi.
Mimpi saat Dany melamarnya waktu itu selalu hadir ditiap malam. Dan sisa
malamnya selalu ia habiskan dengan bertafakur kepada Allah. Meminta ketenangan
hati dan pikirannya yang masih saja kalut.
Sesampainya diparkiran Dewi langsung
dihampiri Inet yang terlihat terburu-buru dengan wajah yang panik.
“Gawat, Wi. Ayo cepatan. Kelas
dimajuin, kita hampir terlambat ayo lah...” Inet menyeret Dewi menuju kelasnya.
Tanpa disangka dan diguga kelas yang mereka ikuti pagi itu dimajukan lebih
awal. Mereka yang tanpa persiapan jadi tergopoh-gopoh berlari berharap tidak
terlambat mendarat di kelas.
“Pelan-pelan dong, Net.
Astagfirullah...” Dewi berusaha mengatur napasnya yang mulai tersengal-sengal.
--
“Keputusanmu ekstrim juga, Wi.” ucap
Inet tiba-tiba dikala rapat anggota rohis dibubarkan.
Dewi menatap Inet dengan heran, apa
sebenarnya yang dimaksud oleh sahabatnya itu. “Keputusan apa?”
Inet tersenyum dan menggeleng
kemudian berjalan keluar dari ruangan. Dewi mengekor di belakang Inet. Suasana
kampus masih ramai, lalu lalang mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan
kegiatan masing-masing. Pikiran Dewi masih bergerilya berusaha menangkap apa
maksud perkataan Inet.
“Tunggu deh, Net. Maksud kamu
ekstrim gimana coba?” tanya Dewi dengan nada polos.
“Melepaskan tiga orang laki-laki
sekaligus itu keren.” jawab Inet. Dewi melongo seketika.
Dewi tersenyum dan tertawa mendengar
penuturan Inet. Ia seperti menertawakan dirinya sendiri. Menurutnya ini adalah
keputusan yang tepat baginya. Bukannya sok jual mahal atau bagaimana, tapi ini demi impiannya.
Urusan jodoh ia akan tetap berusaha,
suatu saat nanti pasti Allah akan mendatangkan seorang laki-laki yang mampu
membuat hati Dewi benar-benar luluh. Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin
jika Allah berkehendak. Hidup itu harus penuh syukur bukan banyak mengeluh dan
membuat hati selalu diselimuti kebimbangan dan keraguan.
“Ngomong-ngomong... skripsimu sampai
bab berapa, Wi?”
Dewi tertawa lagi, “Pertanyaanmu
sekarang lebih mengerikan dari yang awal, Net.”
Mereka berdua tertawa bersama.
Biarlah masa depan menyambut mereka tanpa masalah pelik yang membelenggu. Tapi... jika hidup tidak ada
masalah dan cobaan seperti sayur tanpa garam, hambar tanpa rasa.
--
Bersambung....
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 28 Mei 2016
hebat dewi...tetap fokus dengan tujuan dan cita cita
ReplyDeleteSeperti aku mbak... hihihi
DeleteOK to the next chapter
ReplyDeleteyeahh...
Delete