Sang Gadis Pemarah (4)


Alev memundurkan kakinya beberapa langkah. Hari sudah hampir gelap bahkan beberapa kelelawar penghuni gedung sekolah telah menampakkan wujudnya. Tak hanya satu namun banyak kelelawar. Alev bergidik ngeri. Apalagi sekarang, dihadapannya ada sosok laki-laki yang tidak ingin dia temui.

"Pergi kau. Tidak seharusnya kau di sini."

Laki-laki itu menyeringai. Jika saja Alev bisa mengendalikan kelelawar-kelelawar itu, dia akan menyuruhnya untuk melukai laki-laki yang sangat Alev benci.

"Hei, kenapa putriku begitu terlihat mengerikan? Kemarilah sayang, aku tidak akan melukaimu lagi."

"Pergi. Aku tidak mempercayaimu sedikit pun. Pergi atau aku akan..."

"Akan? Berteriak?" Laki-laki itu tertawa lagi. Tawanya semakin keras tetapi terdengar seperti seorang bandit sedang memenangkan buruannya. "Tak akan ada yang mendengar jeritanmu Nona Grishoff. Sekolah ini sudah sepi, teman-temanmu sudah pulang ke rumahnya."

"Diam kau."

Laki-laki itu semakin mendekat dan menarik tangan Alev dengan kasar.

"Ikut denganku."

"Tidak. Aku tidak mau."

"Kau harus mau sayang."

"Tidak. Lepaskan aku."

"Jangan memberontak atau aku akan merobek pipi halusmu itu."laki-laki itu kembali tertawa. Tawa itu semakin mengerikan bagi Alev. Dan benar apa katanya, di sana tidak ada seorang pun yang bisa menolong Alev.

Alev masih tetap berusaha melepaskan cengkraman lelaki itu dari tangannya namun usahanya sia-sia. Tenaga laki-laki itu terlalu kuat.
Wajah Alev tampak memerah kakinya berusaha menendang laki-laki itu. Tapi lagi-lagi meleset.

"Apa yang akan kau lakukan?"

"Kita lihat saja nanti sayang."

"Tidak."

"Diam dan ikut saja denganku."

Tepat saat itu juga Alev menendang tepat di tulang kering laki-laki itu. Alev berusaha lari tapi... lagi–lengan Alev berhasil diraihnya.

"Tidak. Seseorang tolong aku." Ucap Alev lirih. Untuk pertama kalinya dia meminta bantuan. Untuk pertama kalinya dia benar-benar membutuhkan seseorang untuk melepaskannya dari laki-laki gila itu.
Laki-laki itu tertawa. Bulu kuduk Alev kembali meremang. Di tengah usaha Alev melepaskan diri seseorang dengan balok kayu sudah berdiri di belakang laki-laki itu. Dan...

Buk.

Balok kayu itu tepat mengenai belakang kepala laki-laki itu. Alev memekik ketakutan. Seseorang itu dengan napas yang memburu membuang balok kayu yang baru saja ia gunakan untuk memukul laki-laki itu. Alev merangkak ingin kabur dari tempat itu tapi seseorang yang telah menolongnya datang menghampiri.

"Alev apa kau baik-baik saja?"

"Siapa kau? Jangan menyakitiku."

"Tidak. Aku tidak akan menyakitimu. Aku bersumpah. Aku anak laki-laki yang duduk di tempatmu waktu itu. Di bawah pohon ek. Apa kau ingat?"
Alev tampak berpikir keras tapi dia tak mampu mengingatnya.

"Maaf jika kamu tidak mengingatnya. Sebaiknya kita pergi sekarang sebelum laki-laki itu menyeretmu lagi. Ah apa kau mengenalnya?" Alev menggeleng keras.

Tanpa banyak bicara anak laki-laki itu membawa Alev pergi. Tangan Alev masih bergetar dengan keringat dingin yang membuat tangannya licin. Namun anak laki-laki itu masih menggenggam tangannya dengan erat.

"Panggil saja aku Rex."

Alev masih terdiam memandang punggung Rex dari kegelapan malam. Kaki mereka masih tetap melangkah, Alev tidak tahu kemana Rex akan membawanya pergi. Dia tidak peduli asalkan saja laki-laki itu tidak bisa menemukannya saat ini.

Beberapa kali kaki Alev menginjak sesuatu yang lembek dan basah. Entah apa itu. Lagi-lagi Alev tak peduli. Saat Alev hampir saja terjungkal dengan cepat Rex menangkap tangannya.

"Kita telah sampai." Suara Rex memecah keheningan. Alev memandang wajah Rex sesaat kemudian matanya tertuju pada bangunan yang tinggi menjulang dihadapannya.

"Selamat datang. Tempat rahasia kita. Tempat persembunyian kita." Rex merentangkan kedua tangannya seperti menyambut seorang tamu. Bibirnya tertarik membentuk senyum.


To be continued...



April Cahaya
Pati, 9 Oktober 2016

2 comments: