Sang Gadis Pemarah (5)


Sejak saat itu setiap petang Alev berjalan di atas lumpur yang basah, melewati rerumputan setinggi betis, jalan setapak dengan bebatuan kecil menuju kasti itu. Di sana Rex akan menunggunya di ujung tangga dengan senyuman miring yang tidak Alev sukai.

"Haruskah kau selalu menungguku?" tanya Alev dengan suara yang teramat rendah. Tapi sepertinya Rex masih mendengarnya, terbukti kepalanya mengangguk dua kali. Rex berdiri, beranjak dari tempatnya duduk selama lima belas menit yang lalu, dia menepuk pelan celana jins berwarna gelap yang dipakainya. Dia berjalan menaiki satu demi satu anak tangga, dan Alev mengekor di belakangnya.

"Di tempat ini," Alev menghentikan langkahnya, menatap seluruh sudut kastil tua itu, "aku merasa seperti orang lain... atau mungkinkah inilah diriku yang sesungguhnya?"

"Benarkah? Aku rasa ehm... Mungkin saja." Rex masih terus berjalan menaiki anak tangga satu per satu.

"Ada satu bagian lagi yang akan aku tunjukan. Kau pasti akan menyukainya."

"Kemarin kau juga mengatakannya."

"Benarkah?" Rex tertawa lebar.

"Apakah aku lebih sering melupakan sesuatu, Alev?"

"Mungkin saja." Alev menaiki dua anak tangga sekaligus. "Sepertinya kau meninggalkan sesuatu kemarin di bangku di bawah pohon ek."

Rex tiba-tiba menghentikan langkahnya. Alev terkejut hingga dirinya hampir saja jatuh ke belakang. Dan itu mengerikan. Bayangkan saja jika kau jatuh dari ketinggian dan kepalamu akan membentur dinding tembok yang sangat keras. Dipastikan kau akan mengalami gegar otak atau kau tidak akan melihat dunia ini lagi. Mengerikan.

"Apa itu? Cepat beritahu aku."

"Buku. Ya aku menemukan sebuah buku catatan–mungkin–bersampul coklat dan aku tidak sengaja membukanya karena baunya tercium begitu jelas."

"Oh tidak, kau tidak membacanya kan?"

Rex tersenyum nakal, kemudian mengedipkan satu matanya.

"Kau ternyata menggerikan."

"Benarkah? Aku rasa tidak seburuk itu." Rex melanjutkan langkahnya menaiki bagian tertinggi kastil. "Di tempat ini ternyata memiliki sebuah perpustakaan. Mungkin seseorang yang menempatinya dulu dia menyukai buku sepertimu."

Suara hentakan sepatu keduanya terdengar begitu nyaring dan memantul di dinding gelap kastil. Mata Alev sesekali melihat ke bawah, jika saja ada satu makhluk kecil menjijikan yang bisa saha berada di sana.

"Apa kau menemukan tempat itu? Maksudku perpustakaannya." tanya Alev pada Rex.

"Ya aku menemukannya di loteng. Kau pasti menyukainya." Tiba-tiba Rex menarik tangan Alev dan menggenggamnya.

---

Ruangan yang bisa dikatakan luas untuk sebuah perpustakaan di sebuah bangunan kastil tak berpenghuni seperti itu. Rak-rak tinggi berisi ratusan bahkan ribuan buku mungkin. Sampul-sampul buku yang mulai rapuh dan berdebu, warna kertas yang mengunin. Di sudut sebelah kanan ada sebuah meja, seperti meja kerja. Dengan kursi, beberapa tumpukan buku, tempat alat tulis dan ada pena bulu di sana.

"Kemarin aku sudah membersihkan tempat ini, tapi belum untuk buku-buku yang di atas itu." Rex menunjuk deretan buku di rak atas.

Alev mendekati salah satu rak dengan buku-buku yang sangat tebal. Sudut bibirnya tersenyum, dan seketika Rex pun terpesona olehnya. Dirinya tidak pernah jika Alev mempunyai senyum seindah itu.

"Alev. Apa kau tahu bagaimana kabar ayahmu saat ini?" Tanya Rex dengan hati-hati takut dia akan membuat senyum Alev pudar. Benar saja, saat Alev mengalihkan perhatiannya ke Rex wajahnya tampak suram.

"Aku tidak ingin mengetahuinya."

"Pada saat itu dia tertangkap oleh petugas keamanan, dia dibawa ke sel kota. Ada beberapa orang yang selalu melihatnya menyeretmu dari sekolah, mungkin mereka yang melaporkan ayahmu. Dia berstatus tahanan sekarang, sementara kau aman. Tapi aku tidak tahu sampai kapan masa tahanannya. Bisa saja setelah dia keluar dari sel, dia akan mencarimu lagi."

"Kenapa kau masih menceritakannya? Aku bilang aku tidak ingin mendengarnya."

"Apa kau cemas?"

Alev membawa satu buku pilihannya dan duduk di lantai dekat dengan rak-rak paling tinggi. Dia membuka halaman pertama dan aroma buku yang menguning tercium oleh hidungnya.

"Aku rasa tidak."

Rex tersenyum dan ikut duduk di samping Alev. "Kau bisa mengandalkanku."

Kepala Alev menoleh ke Rex, senyuman Rex begitu meyakinkan. Dia tahu Rex memang teman yang baik dan Alev tahu Rex bukan anak pada umumnya yang selalu mengucilkan dirinya.

"Baiklah. Aku mempercayaimu."

Rex menceritakan salah satu buku yang dia baca kemarin di tempat itu. Sebuah buku tentang perjalanan mencari harta karun. Sang pemburu harta karun harus menjalani segala hinaan dari orang-orang di kotanya. Karena hal itu dia memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kotanya. Selama hidupnya dia selalu menjelajah seluruh isi dunia untuk mencari harta karun.

Alev mendengarkan Rex dengan serius. Ada perasaan bangga dalam diri Rex saat dirinya mampu meredam kemarahan Alev yang tidak terkendali. Bahkan Emily sangat berterimakasih pada Rex karena dia mau menjadi teman satu-satunya bagi Alev.

Alev sang gadia pemarah mungkin sudah menemukan cairan es yang mampu mendinginkan amarahnya. Mungkin dia sudah menemukan kesejukan hingga api yang ada dalam dirinya bisa perlahan padam.



Tamat.


---

Terimakasih buat yang sudah menyempatkan diri membaca Sang Gadis Pemarah. Cerita iseng yang hadir di kepala seorang April karena kebanyakan membaca novel terjemahan Hahahaha

Pengennya sih, cerita ini ditulis lebih panjang lagi. Bisa sampai 300 halaman mungkin. Amiin... Semoga.

See you...
Thank u so much


April Cahaya

6 comments: