The Brave Dandelion


"Be brave. Take risks. Nothing can substitute experience."-PauloCoelho-


--**--

        “Dandeana... Kau tahu kenapa aku dan ibumu memberi nama itu?” tanya sang ayah pada putrinya yang asyik bermain dengan buku gambarnya. Gadis kecil berkepang itu menoleh ke ayahnya, ia berkedip dua kali.

        “Kenapa ayah?” tanyanya dengan binar mata penasaran.

            “Benarkah kau ingin tahu?”

            “Tentu saja.”

            Sang ayah berjalan memetik salah satu tanaman yang tumbuh di sana. Sebuah bunga berwarna putih dan lembut seperti kapas, tangkainya kecil seakan ia sangat rapuh. Kemudian sang ayah meniup bunga itu dengan lembut, semilir angin pagi menerbangkan setiap bagian-bagian kecil dari bunga itu.

            Dandeana memandang takjub bunga itu yang berubah menjadi bagian-bagian kecil yang terbang terbawa angin saat sang ayah meniupnya. “Woah... ini menakjubkan.”

          “Bunga ini bernama Dandelion.” Sang ayah menatap wajah putrinya lekat. “Yah... aku memberimu nama Dandeana karena aku dan ibumu sangat menyukai Dandelion.”

       “Kenapa kau menyukainya, Ayah? Bukankah dia terlihat rapuh?”   

  “Benarkah?” Dandeana mengangguk.

            “Bukan kerapuhan itu yang aku maksud, Dandeana.” Sang ayah kembali memetik bunga dandelion yang tumbuh di sekitar rumah mereka. “Kau melihatnya bukan? Saat aku meniupnya, dia akan terbang terbawa angin?” Dandeana mengangguk.

            “Kau tahu? Bunga ini memiliki filosofi tentang kehidupan manusia.” Sang ayah memperhatikan wajah putrinya yang sangat serius. Ia tahu jika putrinya itu adalah gadis terpintar yang pernah ia temui dan ia bangga mempunyai putri seperti Dandeana.

            “Kenapa kau tidak melanjutkan ceritamu ayah?”

            “Oh, maafkan ayah. Ayah sedang memikirkan sesuatu tadi.” Sang ayah menghela napas pelan dan melanjutkan kata-katanya. “Bagian dari bunga ini adalah bibit dandelion... Saat aku meniupnya seperti ini,” Sang ayah kembali meniup bunga dandelion “dia akan terbang jauh dan tumbuh menjadi tunas di tempat yang baru. Dia dapat tumbuh dimana saja.”

            Dandeana semakin mendekat pada ayahnya. Sorot matanya seakan memandang jauh di mana tunas-tunas dandelion tumbuh. “Ayah, apakah di tempat nenek juga ada bunga dandelion?”

            Sang ayah mengangguk. “Tentu saja.”

            “Baiklah, aku akan berkunjung ke rumah nenek nantinya.” Dandeana tertawa lebar.

            “Seseorang itu harus mudah beradaptasi dengan lingkungannya, seperti yang aku lakukan dulu dan sekarang. Ya... saat aku dan ibumu baru saja pindah ke kota ini. Hei, dan kau belum lahir di dunia ini.” Sang ayah tertawa bahagia jika mengingat kebahagiaan bersama mendiang istrinya. “Bagaimanapun keadaan lingkungan tempat tinggalmu, ah maksudku juga termasuk orang-orang yang hidup di sekitarmu, kau harus mampu menyesuaikan diri. Seperti saat kau berusaha berbaur di sekolah barumu. Ya... seperti itu.”

            “Kau tahu ayah? Kata Miss Adri aku sangat disukai teman-temanku.”

            “Benarkah?” Dandeana mengangguk. “Oh... berarti kau sangat pintar menyesuaikan diri. Aku bangga padamu.” Sang ayah mengusap sayang rambut putrinya. “Dandeana... kau harus tumbuh dan berkembang sebaik-baiknya seperti bunga dandelion ini. Janji?”

            “Baiklah ayah... aku berjanji.” Gadis itu tersenyum dan segera memeluk ayahnya dengan sayang.
           
--**--

            Gaya rumah khas pedesaan Inggris itu tertampang jelas di depan Dandeana. Ia melangkahkan kakinya dengan pelan berusaha menikmati pemandangan indah dari desa buatan di Inggris itu. Perjalanan ke tempat itu tidaklah cepat, Dandeana harus berganti beberapa trasportasi umum hingga ia sampai di desa itu.

            “Hei, Mademoiselle.” Dandeana memutar badannya untuk melihat seorang pria yang membawa segala perlengkapan kameranya. “Haruskah kita ke tempat nenekmu terlebih dulu? Kita sudah melewati tempat di mana kita akan melakukan pemotretan hari ini. Kau tahu? Kita harus berjalan kaki lagi untuk kembali ke gereja St.Peter.” Pria itu tampak kesal menatap Dandeana.

            “Aku tahu. Tapi aku ingin menemui nenekku. Jika kau tidak ingin ke tempat nenekku, kau bisa kembali dan menungguku di gereja itu.”

            “Kau gila. Kau menyuruhku berjalan lagi ke sana?” Dandeana mengangguk. Pria itu menghela napas kasar berkali-kali. “Baiklah aku ikut denganmu.”

            Dandeana tersenyum. “Ya, itu lebih baik.” Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanannya.

--**--

            Wanita tua yang memakai syal berwarna cokelat tua itu sesekali memandang pria yang berada di samping Dandeana.

            “Dandeana, kemarilah.” Wanita tua itu memanggil cucunya untuk mendekat. “Apa kau mengencani pria itu?”

            Dandeana tersenyum dengan pertanyaan neneknya. “Apakah aku terlihat seperti itu?” Neneknya mengangguk. “Tidak, dia bukan pria yang aku kencani. Dia hanya membantuku saat pemotretan." Wanita tua itu mengangguk sekali lagi.

            "Dandeana..."

            "Hem."

            "Tidak bisakah kau tinggal di sini saja bersamaku? Bersama ayahmu juga."

            Tatapan lembut dari neneknya itu membuat hati Dandeana sedikit menghangat. "Maaf, aku tidak bisa nenek. Ayah sudah meninggal, jika aku tidak bekerja bagaimana bisa aku membeli makanan kesukaanku." Dandeana tertawa ringan. "Sepertinya aku juga tidak bisa berlama-lama di sini. Besok aku harus pergi ke Jepang. Yah, seperti biasa, pekerjaan."

            Wanita tua itu membelai lembut kepala Dandeana. "Kau seperti apa yang diharapkan ayahmu."

            "Apa kau yakin?"

        "Ya aku yakin. Dia menginginkan putri yang seperti bunga dandelion. Dan kau juga sangat berani sayang. You're really the brave dandelion. Kau membuatku bangga." Dandeana memeluk neneknya erat.

            Sejak ayahnya meninggal, Dandeana sudah lama hidup sendiri. Ia menjadi seorang fotografer ternama dan ia sering berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya. Benar apa kata neneknya, ia tumbuh seperti yang ayahnya inginkan. Ia mampu beradaptasi di manapun ia berada. Ia mempunyai banyak sekali kenalan di berbagai negara. Dan Dandeana adalah gadis yang sangat pemberani.
            "Terima kasih, nenek."
            Teman pria Dandeana masuk dan mengganggu suasana hangat di antara dua orang anggota keluarga itu. "Hei, Mademoiselle. Apa kau ingin terlambat?"

            Dandeana berdecak kesal. Pria itu, selalu saja menyebalkan setiap waktu.

            "Nenek, maafkan aku. Aku harus pergi. Aku berjanji setelah pulang dari Jepang nanti, aku akan mengunjungimu lagi." Wanita tua itu mengangguk dan Dandeana pergi ke St. Peter bersama dengan teman prianya itu.

            Saat Dandeana keluar dari rumah neneknya, ia melihat dandelion tumbuh di samping rumah neneknya itu. Bibirnya tertarik ke atas dan membentuk sebuah senyuman.




The end.







#OneDayOnePost
#tantanganODOP

Pati, 31 Maret 2017


April Cahaya

4 comments:

  1. Keren, bahasanya kek novel-novel terjemahan mbak April, hehe
    Filosofis (y)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah tugas terselesaikan. 😄😄

      Delete
  2. Mbak April pasti sering baca novel-novel terjemahan atau setidaknya pelanggan tetap website fiksi lotus.Gaya penulisan yang sederhana tapi dengan makna filosofis tersirat yang kuat.Saya suka membaca tulisan ini

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yg benar aku sering baca novel2 terjemahan Uncle 😄😄

      Delete