Aku mengetuk beberapa kali meja kayu mahoni yang ada di depanku. Mataku sejak tadi menyisir setiap sudut tempat ini tanpa terkecuali. Pigura-pigura cantik bernuansa vintage terpajang rapi di dinding bangunan ini. Properti-properti cantik seperti miniatur sepeda lawas, bunga-bunga plastik kecil seperti bonsai dan satu lukisan abstrak yang menurutku sangat aneh. Mungkin orang lain tidak akan begitu detail memperhatikan dekorasi tempat ini seperti diriku.
Pintu kafe berdenting menandakan ada orang yang masuk. Wajahku seketika tersenyum saat melihat siapa orang itu. Laki-laki dengan postur tubuh ideal dengan memakai outfit yang lumayan santai tapi tetap keren.
“Maaf telat.” katanya seraya duduk di depanku. Aku menggumamkan kata tidak apa-apa padanya. Aku tahu jika jalanan kota ini tidak bisa diajak bersahabat jika kamu mempunyai janji untuk bertemu dengan seseorang.
“Udah pesen minum?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kalau gitu aku pesen dulu ya.” Aku mengagguk lagi. Kemudian aku menutup buku yang sejak tadi aku buka tetapi tidak aku baca karena aku lebih sibuk mengamati setiap detail kafe ini.
“Nggak pesen makan? Biasanya juga pesen pancake. Mau ya?”
“Mau apa?”
“Aku pesenin pancake kesukaan kamu.”
“Masih kenyang. Nggak usah.”
“Ya udah kalau gitu. Cappuchino Latte satu ya Mbak.” ucapnya pada pelayan kafe ini. Asal kalian tahu, laki-laki ini tidak pernah mengubah pesanan minumannya meskipun kita selalu berpindah-pindah kafe. Itu adalah minuman favoritnya.
“Entah kenapa kemarin aku mendadak baper pas lagi motret pernikahannya klienku.” Aku membulatkan mataku. Aku bertanya kenapa pada dia. “Nggak tahu. Mendadak baper.” Kemudian dia tertawa dengan keras. Aku juga tidak bisa tetap menahan bibirku tetap datar.
“Kapan wisuda?” tanyanya lagi. Sepertinya dia memang laki-laki yang lebih suka bertanya daripada menungguku untuk menceritakannya sendiri.
“Bulan depan.”
“Bagus.”
“Bagus?” tanyaku balik.
“Iya, biar kita cepet nikah. Biar aku nggak baper sendiri pas lagi foto pernikahan klien. Apalagi pas dateng ke pernikahan mantan.” Aku tertawa lebih keras dari sebelumnya. “Satu lagi. Biar aku nggak dikatain fotografer ganteng tapi nggak laku.”
Dia adalah laki-laki paling jujur yang pernah aku temui. Ini menurut pengukuranku dengan mantan-mantan pacarku yang dahulu. Masih kuingat dengan jelas apa yang dia katakan saat kita baru kenal. Aku bertemu dengannya saat pernikahan kakak perempuanku. Saat dia mengatur tripot kameranya, tanpa sengaja aku yang agak meleng malah menabraknya. Untung saja kamera itu tidak terjatuh. Dan apa yang dikatakannya setelah kita berbincang lumayan lama, membuatku tahu jika masih ada laki-laki seperti dia.
“Aku mau kenalan sama kamu karena kamu cantik. Beneran aku nggak bohong. Coba deh tanya Mama kamu, pasti bilang kamu cantik.” Aku tertawa. “Kalau boleh aku mau jadi pacar kamu. Tetapi aku belum tahu lho sifat kamu kayak gimana. Tetapi menurut indra keenam milikku, kamu itu baik kok.” Aku tertawa lagi. “Tapi aku selalu serius dengan setiap perempuan yang aku ajak pacaran.”
Di tengah euforia cinta yang sering diumbar di media sosial ataupun yang cuma lewat di mulut saja, aku melihat ada yang berbeda dengan laki-laki itu. Ada keseriusan dibalik candaannya. Ada tanggung jawab besar di setiap kata-katanya. Dan ada kasih sayang yang tulus disetiap bentuk perhatiannya. Membuatku yakin memang dialah yang selama ini aku cari.
“Aku bahagia jika bersamamu, Mas.”
Dia tersenyum lebar dan menjawab, “Sama.”
--**--
#tugaskelasfiksi #tugas4
Pati, 23 Juli 2017
April Cahaya
7
ReplyDeleteOkay thanks Uncle
Delete