(image by Google)
Mungkin
aku sedikit tahu tentang betapa frustasinya orang-orang yang memilih untuk
mengakhiri hidupnya sendiri. Mungkin aku sedikit tahu tentang bagaimana
keinginan kuat di dalam diri seseorang untuk melakukan hal bodoh dan berdosa
ini. Tetapi sedikit akal sehatku masih menarik kakiku untuk mundur.
Suara klakson truk bermuatan berat
terdengar memekakkan telinga. Mobil-mobil orang kaya yang tak mau bersabar
sedikit saja juga ikut membunyikan klakson. Aku jelas merekam semua suara-suara
itu dalam memoriku sebelum aku benar-benar melupakannya. Bau asap kendaraan
begitu pekat. Bukan lagi udara segar yang bisa menyehatkan, tetapi racun yang
siap membunuh secara perlahan. Udara mematikan itu aku hirup dalam-dalam.
“Masih berniat untuk mati sekarang?”
Suara itu lagi. Aku benci mendengarnya. Segala sesuatu yang akan aku lakukan
pasti akan berantakan jika pemilik suara itu muncul.
Aku menoleh ke belakang dan
mendapatinya menyeringai menyebalkan dengan asap rokok yang selalu mengebul
dari mulutnya. Aku berdecak pelan, mengabaikan pertanyaannya dan pergi begitu
saja.
--**--
Aku
baru saja melempar toples kaca yang entah dari mana aku dapatkan. Emosiku
tersulut melihat ponsel yang aku beli hasil dari kerja kerasku di sebuah toko
itu retak layarnya. Bahkan dalam keadaan ini pun ibuku masih saja
menyalahkanku.
“Rin, dasar anak gila.” Hanya itu
saja yang berani ibuku ucapkan padaku. Ia memeluk putri kecilnya yang baru
berusia 5 tahun itu dan membawanya pergi. Terserah aku dikatakan sebagai anak
durhaka, pada kenyataannya, hanya anak kecil kurang ajar itu yang menjadi
prioritas utamanya. Aku hanya seperti setitik debu yang kotor dan tak terlihat.
Aku tidak mengambil pecahan ponsel
yang baru saja aku lempar. Membiarkan pecahannya berserakan di lantai ruang
tamu. Dan aku tidak peduli dengan apapun yang akan terjadi selanjutnya. Dan
lagi-lagi orang itu muncul dihadapanku dengan seringaian yang sama. Menyebalkan
dan membuatku ingin sekali memukul wajahnya.
“Biar kutebak, setan kecil itu
membuatmu emosi lagi?” tanyanya. Dia masih mengenakan seragam kantornya.
Seragam yang menunjukkan dirinya sebagai pegawai kantor milik negara. Cih, apa
hebatnya? Itulah mengapa ibuku dan laki-laki tua itu selalu membanggakannnya.
Aku hanya meliriknya tajam, dan
tanpa aku mengatakan apapun dia pasti sudah tahu apa jawabannya.
“Butuh tempat pelarian?” laki-laki
itu menatapku tajam sambil tersenyum tipis. Tak berapa lama dia melangkahkan
kakinya keluar dari rumah, dan anehnya... kakiku ini otomatis mengikutinya
sendiri. Mungkin dia itu semacam magnet dan aku adalah logam-logam yang selalu
tertarik dengan paksa padanya. Aku tidak mengerti kenapa harus dia yang selalu
ada untukku? Kenapa harus laki-laki dengan senyuman yang menurutku mengerikan
ini yang bisa membuatku sedikit lega? Aneh. Dan aku tetap menganggap diriku
sendiri aneh.
--**--
“Tak
harus meninggalkan dunia ini jika ingin meninggalkan kehidupan yang tidak kamu
inginkan.” katanya sambil mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya. Dia
mencari-cari korek di dalam wisband yang
dia bawa dan menemukan benda itu di sana. Rokok yang sedari tadi ia pegang
disulutnya perlahan.
“Cukup kamu pergi dari rumah itu.
Dan relakan semuanya. Mulai dari nol.” lanjutnya. Kini asap rokok sudah
mengepul tanpa henti dari mulutnya. Aku meyakini jika saluran pernapasannya
sudah menghitam seperti cerobong asap pabrik.
“Nggak gampang. Pada akhirnya ibu
akan menangis jika aku pergi dari sana meski kenyataannya aku tidak begitu
diinginkan di rumah itu.” Aku menghela napas kasar, berusaha menahan air mata
sialan yang terkadang sulit sekali ditahan.
“Nangis aja, tidak perlu ditahan.”
Dia kembali menghisap rokoknya. “Ada banyak hal yang tidak kita inginkan
terjadi dalam hidup ini. Tetapi semua itu harus tetap dijalani meski pahit.
Tidak perlu lari cukup menghindar sedikit saja biar tidak terlalu parah jika
terluka.”
“Tapi aku tidak mau menerima alasan
konyol laki-laki tua itu.”
“Maksud kamu tentang bapak yang
menginginkan aku menikahimu?” Jantungku berdegup kencang, sedangkan raut wajah
laki-laki dihadapanku ini terlalu santai. Aku terdiam. “Itu bukan ide yang
buruk.”
Gila, dia laki-laki paling gila yang
pernah aku temui. “Tapi aku adikmu.”
“Tapi kamu tidak pernah
menganggapnya bapakmu.” Skakmat. Aku tidak mampu menyanggahnya. Dia benar, aku
tidak pernah menganggap laki-laki tua itu bapakku.
Aku tidak mampu mencerna segala hal
yang terjadi. Pikiranku kosong, mungkin jika ada setan lewat pun aku bisa saja
kerasukan. Dia, laki-laki di sampingku ini adalah kakak tiriku. Anak laki-laki
dari orang yang menikahi ibuku.
“Bukan ide yang buruk jika kamu
bersedia menikah denganku. Bukan karena alasan harta warisan bapak yang tidak
akan jatuh pada orang lain, tetapi aku ada rencana lain dengan kehidupanku
setelah menikah.” Jeda sejenak, dia membuang puntung rokoknya ke tanah dan
menginjaknya. “Aku akan resign dari
pekerjaanku dan menerima tawaran teman di perusahaan yang lebih menjanjikan di
Surabaya. Jika kamu mau, setelah kita menikah, kita pindah ke Surabaya dan
tidak akan tinggal bersama mereka lagi.”
Aku terkejut mendengar penuturannya.
Laki-laki yang selama ini tidak pernah aku suka, laki-laki yang pernah sekali
melecehkanku ini ternyata masih mempunyai otak yang sedikit waras. Aku tidak
berani menatapnya, bahkan aku tidak berani mengatakan satu patah katapun
padanya. Jujur aku lelah, dan aku butuh tempat untuk beristirahat. Tetapi
benarkah dia orang yang tepat untuk aku bersandar?
“Masih ingin tetap
diam di sini? Aku mau ke warung kopi seberang jalan itu.” Dia berdiri, hampir
saja dia menyeberang jalan sebelum aku memanggilnya.
“Mas, tunggu...” Dan mungkin aku
tidak tahu nasibku selanjutnya apakah dengan menerima tawarannya hidupku
menjadi lebih baik dari ini? Apakah lelahku bisa terobati? Yang ada hanya
sebuah pertanyaan gila yang membuatku tak habis pikir bahwa aku telah menerima
tawaran laki-laki itu.
--**--
#tantangankelasfiksi
Pati, 14 Juli 2017
April Cahaya
yaAllah kerennyaa
ReplyDeleteHihihi makasih Iput
Delete