Gerimis Pagi - Bab 10


           Angin malam seakan berbisik saling menyapa rindu. Rindu yang telah terbawa musim yang tak teratur. Musim sekarang tidak bisa ditebak seperti dulu. Waktu Dewi masih kecil, musim akan bergantian dengan apik. Mereka akan berganti tugas pada masanya. Berbeda jauh dengan sekarang, tadi siang panas keterlaluan tapi malamnya hujan deras. Benar-benar membuat galau seperti hati Dewi sekarang.

            Dewi sudah mengatakannya. Ia sudah memberikan jawaban yang jujur pada Gilang. Mungkin itu membuat hati Gilang kecewa tapi inilah keputusannya. Bukan bermaksud menyakiti hati yang tulus mencintainya, namun Dewi tidak ingin terjebak hubungan yang belum tentu pasti. Bahkan sampai sekarang ia sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan.

            Yang ada di pikiran Dewi hanya bagaimana dia bisa lulus dengan IPK yang baik. Minimal tidak mengecewakan orang tua dan dirinya sendiri. Targetnya adalah mencari pekerjaan yang mapan baru ia akan memikirkan tentang pernikahan. Terlalu dini jika harus memaksakan diri untuk hal seperti itu.

            “Wi, Ayah mau ngomong.” tiba-tiba Ayah Damar menghampiri Dewi yang sedang duduk termenung di teras.

            “Iya, Yah.” jawab Dewi sopan. Ia menggeser sedikit tubuhnya.

            “Lagi mikirin apa Nduk? Kok sampai melamun di teras. Tidak baik lho anak gadis melamun malam-malam begini.” tegur Ayah. Dewi tersenyum.

            “Oh... mikirin skripsi, Yah. Iya itu.” jawab Dewi asal. Entahlah ia rasa jawabannya selalu ngawur jika dia ketahuan melamun.

            “Skripsi itu dikerjain bukan dipikirin, emang skripsi mikirin kamu?” goda Ayahnya.

          Dewi terkekeh sendiri, ia rasa candaan Ayahnya terlalu datar. Sepertinya ada hal lain yang ingin disampaikan oleh Ayahnya. Damaryono sosok Ayah yang selalu dikagumi anak semata wayangnya itu menghela napas kasar.

            “Apa yang ada dibenakmu ketika mendengar kata pernikahan?” pertanyaan Ayah Damar membuat Dewi terhenyak. Perhatiannya kali ini benar-benar terfokus pada Ayahnya.

            Dewi tertunduk diam. Ia berpikir sejenak, setidaknya dia bisa adu argumen jika Ayahnya menolak mentah-mentah pendapatnya. “Dewi gak mau menikah dulu, Yah. Aku ingin kerja setelah lulus.”

            Ayah Damar menyesap kopinya sambil memandang putrinya. “Cari kerja setelah menikah kan bisa, Nduk.”

            “Sayangnya sebagian perusahaan dan lowongan kerja itu diutamakan yang belum menikah.  Lagian Dewi masih muda, masih banyak yang ingin Dewi kejar. Aku tidak mau terburu-buru menikah.”

            Sedikit demi sedikit masalah mulai muncul, entah kapan Dewi akan benar-benar memikirkan tentang skripsinya. Kenapa ia merasa seperti ABG labil yang ragu dengan masalah perasaan. Tentang Dany, Gilang dan pernikahan yang dipertanyakan Ayahnya. Inet? Kemana Inet sekarang? Seakan Inet menghindar dari Dewi. Kesalahan apa yang telah diperbuatnya?

           “Coba pikirkan tentang hal itu, Nduk. Beberapa hari yang lalu Ayah sudah mempertimbangkan tawaran seseorang untuk melamarmu.”


            Bagai tersambar petir yang amat dahsyat Dewi termangu seketika. Ada rasa takut sehingga ia tak berani menatap Ayahnya. Posisi duduknya tak berubah setelah Ayahnya masuk. Sekelumit masalah yang belum mampu ia atasi telah tertimbun oleh masalah yang lebih besar lagi. Seakan Dewi terjebak dalam jaring laba-laba yang rumit. Ia tak bisa mengurainya dan terbebas dari sana. Bagaimana bisa ia akan dijodohkan?




Bersambung....



#OneDayOnePost


April Cahaya
Pati, 17 Mei 2016

6 comments: