Tak
hanya jadwal kuliah Dewi saja yang kosong bahkan sekarang pikirannya juga
kosong. Angin apa yang membawa berita yang tak ingin ia dengar. Sama sekali
tidak ingin dia ketahui sedikitpun. Jika bisa ia memohon hentikan waktu
sekarang dan ia akan kabur sesegera mungkin.
Dewi tak berniat sedikitpun beranjak
dari teras, tempat favorit dia untuk melamun. Bukan kamarnya yang menjadi
tempat merenung. Jika ia menghabiskan waktunya untuk berpikir di dalam kamar
maka pikirannya akan ikut sempit layaknya ruangan itu.
“Lho kok belum siap-siap, Nduk.” tegur
Ibu saat mengetahui anak gadisnya masih betah berdiam. Seakan pura-pura tak
mendengar Ibunya, ia tidak merespon sedikitpun.
“Untuk apa?” tanya Dewi dengan nanda
getir di sana.
“Kok untuk apa? Jangan bilang lupa
kalau nanti malam keluarga Bapak Wira akan ke sini.” jawab Ibunya Dewi dengan
antusias.
Rasanya Dewi ingin menutup telinga
rapat-rapat. Ia tak mau hal ini terjadi, terlalu cepat. Kenapa kedua orang
tuanya tidak membicarakan ini dengan Dewi terlebih dahulu. Kenapa semua serba
mendadak tanpa persetujuan Dewi terlebih dahulu?
Sebuah ide gila muncul dibenak Dewi.
Ide yang mungkin bisa menyelamatkannya.
--
Sebentar lagi...
Suara deru mobil memasuki
perkarangan rumah Dewi. Ia tahu itu keuarga Bapak Wira. Wira Atmojo orang kaya
yang bersahaja dan menjabat sebagai kepala sekolah di tempat dimana Damaryono
mengajar.
Sapaan salam beberapa orang terdengar
di depan rumah. Dewi mengira-ngira ada tiga orang yang bertamu di rumahnya. Ia
digiring keluar oleh Ibunya. Entah apa yang dipikirkan Dewi, ia malas untuk
itu.
“Nah ini dia anaknya, Pak. Gimana?”
kata Ibu saat mereka berdua duduk dihadapan para tamu.
“Gimana, Nak?” bisik Pak Wira dan
menyeggol lengan seorang laki-laki yang berada disampingnya. “Jadi begini,
maksud kedatangan kami kemari adalah ingin melamar anak Bapak dan Ibu untuk
anak laki-laki kami yang bernama Heru. Apakah Anda sekeluarga berkenan menerima
lamaran kami?” ucap Pak Wira terus terang dengan kedatangan mereka ke kediaman
Damaryono.
Dewi masih menunduk memikirkan
kata-kata apa yang akan dia ucapkan nantinya untuk menolak lamaran ini. Belum
waktunya untuk semua ini. Jujur ia belum siap.
“Kami serahkan keputusannya pada
anak kami, Pak. Karena yang akan menjalaninya adalah dia. Jadi dia yang berhak
untuk memutuskan menerima atau tidak.” ucap Damaryono berwibawa. Banyak mata
yang kini tertuju pada Dewi.
Dewi menghela napas sekali lagi, “Maaf,
tapi untuk saat ini saya memang belum memikirkan tentang pernikahan. Saya rasa
masih banyak yang ingin saya gapai, masih banyak cita-cita yang hanya berupa
angan. Saya ingin mewujudkan cita-cita terlebih dahulu. Terlalu umum memang
tapi itulah yang saya pikirkan sekarang.”
Semua orang terdiam sejenak hingga laki-laki
bernama Heru itu bersuara.
“Baiklah, kita bisa ta’aruf dahulu. Atau
aku akan menunggumu hingga kamu bisa menerima lamaranku.” Semua orang yang ada di ruangan itu mengangguk
setuju begitupun Dewi. Semoga ini adalah keputusan tepat yang diambilnya.
Ayah dan Ibu Dewi mempersilahkan
tamunya untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Bahkan Ibu telah memasak
banyak untuk hari ini. Begitu istimewakah
tamunya ini bagi Ibu? pikir Dewi.
“Assalamu’alaikum...” ucapan salam
itu mengagetkan semua orang yang ada di ruangan itu. Tak pelak Dewi pun ikut
kaget karena di luar dugaannya.
Hanya satu orang yang dinanti Dewi
sejak tadi bukan tiga orang. Kenapa bisa mereka ikut kemari? Apakah..?
Bersambung...
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 18 Mei 2016
wah Mas Heru keluar juga akhirnya jadi tokoh..
ReplyDeleteHahahaha iya tuh mbak
DeleteSiapakah gerangan?
ReplyDeleteSiapa yak??
DeleteRombongan keluarga Dany tuh..😆#sotoy
ReplyDeleteJangan-jangan keluarga Heru yang lain menyusul. Dany salah satunya. #Siapataukan
ReplyDeleteSiapa yang muncul? Keluarga dany atau gilang? kepooo
ReplyDelete