“Jangan
kebiasaan ngelamun sambil gigit jari, nanti saat sadar tiba-tiba itu jari udah
putus lho.” kata Inet kemudian duduk di samping Dewi. Mata kuliah jam pertama
belum dimulai suasana kelas masih sedikit berisik.
Dewi melirik Inet, “Horor banget
kamu, Net.”
Inet tertawa ringan melihat wajah
Dewi yang terlihat lucu. Harusnya sahabatnya itu butuh sedikit hiburan untuk
menguraikan benang kusut yang ada dalam pikirannya. Ia tahu masalah yang
dihadapinya tak semudah seperti kata orang. Ini tentang pergolakan batin yang
teramat rumit.
“Net, aku harus berani ngomong sama
Ayah dan Ibu jika aku menolak perjodohan ini.” kata Dewi setelah mereka diam
cukup lama.
“Yakin?” tanya Inet memastikan apa
yang menjadi keputusan Dewi. Dewi mengangguk yakin akan hal itu. Tidak ada
pilihan lain selain menolaknya karena ia tidak ingin menikah sekarang.
Terdengar egois tapi inilah pilihan hidupnya.
Semuanya sudah dipasrahkan pada
Allah, Dewi yakin jika jodoh tidak akan kemana. Jika saat ini ia memutuskan
belum ingin menikah karena Heru bukanlah jodohnya. Ia hanya butuh kekuatan
untuk adu argumen dengan Ayah dan Ibunya.
Bukannya Dewi ingin jadi anak durhaka, sama sekali ia tidak ingin
menentang kedua orang tuanya. Tapi ini permasalahan kehidupannya yang akan
datang maka Dewi berhak memutuskannya juga.
--
Dewi berlari-lari kecil menyeberang
jalan. Ia tidak membawa sepeda motor kesayangannya. Gilang mengiriminya pesan,
laki-laki itu ingin bertemu dengannya. Entah hal penting apa yang akan
dibicarakan oleh Gilang. Dewi hanya menurut saja ketika Gilang menentukan
tempat pertemuan mereka.
Mendung menghiasi langit sore itu.
Jam masih menunjukkan pukul tiga sore namun suasana terlihat sangat gelap.
Setitik air dari langit mulai turun perlahan, Dewi semakin mempercepat
langkahnya memasuki sebuah kafe ternama di kota itu.
Dewi mengedarkan pandangannya ke
segala sudut kafe, mencari sosok yang telah membuat janji dengannya. Ia melihat
punggung yang sangat dia kenali, mengenakan jaket abu-abu dengan aksen garis
hitam. Dewi tersenyum dan segera menghampirinya.
“Maaf lama, Lang.” Ucap Dewi begitu
duduk di depan Gilang. Gilang membenarkan posisi duduknya.
“Mau pesan minuman dulu?” tanya
Gilang kemudian. Dewi mengangguk, Gilang memanggil salah satu pelayan kafe itu.
Secangkir coklat hangat telah
terhidang dihadapan Dewi. Gilang sama sekali belum membuka suara. Ia lebih
menikmati hujan yang turun semakin deras di luar sana. Cuaca tidak bisa
diprediksi, padahal dari rumah tadi langit sangat cerah. Siapa yang menduga
jika sore ini akan hujan lebat.
Dewi berdehem pelan bermaksud
menyadarkan Gilang akan lamunannya yang menatap jendela kaca tanpa berkedip.
“Jadi... kamu mau ngomong apa Lang?”
Gilang menghembuskan napasnya kasar,
seperti membuang karbondioksida dengan paksa dan menghirup oksigen
sebanyak-banyaknya. Ia kembali menyesap cappucino pesanannya. Ia menoleh
sekilas ke Dewi kemudian pandangannya kembali pada jendela kaca.
“Aku ingin bersamamu lebih lama hari
ini, Wi. Lusa aku akan kembali ke Singapore.” kata Gilang akhirnya. Dewi
menggenggam cangkir coklatnya dengan erat. Kenapa Gilang memutuskan untuk pergi
sekarang? Yang Dewi dengar dari Mbak Lisa, Gilang akan kembali ke Singapore
bulan depan. Apakah ini karena?
“Kok cepet, Lang? Bukannya...”
“Aku gak mau nantinya hatiku semakin
sulit lepas.” Kemudian Gilang tertawa lepas. Bukan tawa sebenarnya yang Dewi
dengar. Tawa itu seolah hanya kecohan dari perasaan Gilang yang sebenarnya.
“Lang... maaf bukannya aku bermaksud
menyakitimu. Tapi, aku yakin kamu akan menemukan gadis yang sangat pantas untuk
mendampingimu.”
“Maksudmu kamu tidak pantas
untukku?” perkataan Gilang membuat Dewi terpaku menatap Gilang sesaat sebelum
ia kembali menunduk. Gilang tertawa lagi, “Ah sudahlah, Wi. Lupakan. Aku tidak
apa-apa.”
Bersambung....
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 24 Mei 2016
Baper bacanya
ReplyDeleteJiah.. mbak wiwid baper oy
Deletekasihan gilang
ReplyDeletekasihan gilang
ReplyDelete