Gerimis Pagi - Bab 16


        “Jangan kebiasaan ngelamun sambil gigit jari, nanti saat sadar tiba-tiba itu jari udah putus lho.” kata Inet kemudian duduk di samping Dewi. Mata kuliah jam pertama belum dimulai suasana kelas masih sedikit berisik.

            Dewi melirik Inet, “Horor banget kamu, Net.”

        Inet tertawa ringan melihat wajah Dewi yang terlihat lucu. Harusnya sahabatnya itu butuh sedikit hiburan untuk menguraikan benang kusut yang ada dalam pikirannya. Ia tahu masalah yang dihadapinya tak semudah seperti kata orang. Ini tentang pergolakan batin yang teramat rumit.

            “Net, aku harus berani ngomong sama Ayah dan Ibu jika aku menolak perjodohan ini.” kata Dewi setelah mereka diam cukup lama.

            “Yakin?” tanya Inet memastikan apa yang menjadi keputusan Dewi. Dewi mengangguk yakin akan hal itu. Tidak ada pilihan lain selain menolaknya karena ia tidak ingin menikah sekarang. Terdengar egois tapi inilah pilihan hidupnya.

            Semuanya sudah dipasrahkan pada Allah, Dewi yakin jika jodoh tidak akan kemana. Jika saat ini ia memutuskan belum ingin menikah karena Heru bukanlah jodohnya. Ia hanya butuh kekuatan untuk adu argumen dengan Ayah dan Ibunya.  Bukannya Dewi ingin jadi anak durhaka, sama sekali ia tidak ingin menentang kedua orang tuanya. Tapi ini permasalahan kehidupannya yang akan datang maka Dewi berhak memutuskannya juga.

--

            Dewi berlari-lari kecil menyeberang jalan. Ia tidak membawa sepeda motor kesayangannya. Gilang mengiriminya pesan, laki-laki itu ingin bertemu dengannya. Entah hal penting apa yang akan dibicarakan oleh Gilang. Dewi hanya menurut saja ketika Gilang menentukan tempat pertemuan mereka.

            Mendung menghiasi langit sore itu. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore namun suasana terlihat sangat gelap. Setitik air dari langit mulai turun perlahan, Dewi semakin mempercepat langkahnya memasuki sebuah kafe ternama di kota itu.

            Dewi mengedarkan pandangannya ke segala sudut kafe, mencari sosok yang telah membuat janji dengannya. Ia melihat punggung yang sangat dia kenali, mengenakan jaket abu-abu dengan aksen garis hitam. Dewi tersenyum dan segera menghampirinya.

            “Maaf lama, Lang.” Ucap Dewi begitu duduk di depan Gilang. Gilang membenarkan posisi duduknya.

            “Mau pesan minuman dulu?” tanya Gilang kemudian. Dewi mengangguk, Gilang memanggil salah satu pelayan kafe itu.

            Secangkir coklat hangat telah terhidang dihadapan Dewi. Gilang sama sekali belum membuka suara. Ia lebih menikmati hujan yang turun semakin deras di luar sana. Cuaca tidak bisa diprediksi, padahal dari rumah tadi langit sangat cerah. Siapa yang menduga jika sore ini akan hujan lebat.

          Dewi berdehem pelan bermaksud menyadarkan Gilang akan lamunannya yang menatap jendela kaca tanpa berkedip. “Jadi... kamu mau ngomong apa Lang?”

            Gilang menghembuskan napasnya kasar, seperti membuang karbondioksida dengan paksa dan menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Ia kembali menyesap cappucino pesanannya. Ia menoleh sekilas ke Dewi kemudian pandangannya kembali pada jendela kaca.

            “Aku ingin bersamamu lebih lama hari ini, Wi. Lusa aku akan kembali ke Singapore.” kata Gilang akhirnya. Dewi menggenggam cangkir coklatnya dengan erat. Kenapa Gilang memutuskan untuk pergi sekarang? Yang Dewi dengar dari Mbak Lisa, Gilang akan kembali ke Singapore bulan depan. Apakah ini karena?

            “Kok cepet, Lang? Bukannya...”

            “Aku gak mau nantinya hatiku semakin sulit lepas.” Kemudian Gilang tertawa lepas. Bukan tawa sebenarnya yang Dewi dengar. Tawa itu seolah hanya kecohan dari perasaan Gilang yang sebenarnya.

            “Lang... maaf bukannya aku bermaksud menyakitimu. Tapi, aku yakin kamu akan menemukan gadis yang sangat pantas untuk mendampingimu.”


            “Maksudmu kamu tidak pantas untukku?” perkataan Gilang membuat Dewi terpaku menatap Gilang sesaat sebelum ia kembali menunduk. Gilang tertawa lagi, “Ah sudahlah, Wi. Lupakan. Aku tidak apa-apa.”


Bersambung....



#OneDayOnePost



April Cahaya
Pati, 24 Mei 2016

4 comments: