Gerimis Pagi - Bab 17


            Pagi ini mengingatkan Dany akan pertemuan pertamanya dengan Dewi. Ia tersenyum menertawai sikap Dewi waktu itu. Gadis cantik yang ngomel-ngomel sendiri karena hujan yang tanpa permisi telah menumpahkan airnya ke bumi.

            Rinai kecil menghiasi pagi ini. Daun-daun pohon mangga yang ada di halaman sekolah seakan menggigil kedinginan. Pandangan Dany masih ke arah daun namun pikirannya melayang entah kemana. Ia akan mengajar di jam kedua jadi jam pertama ia kosong. Ia sudah menyiapkan materinya untuk hari ini maka setidaknya ia masih punya waktu luang sedikit.

            “Anak muda pagi-pagi dilarang melamun. Nanti kesambet lho, Pak.” Dany terkesiap mendengar ucapan Pak Parto yang membuyarkan lamunannya. Dany tersenyum canggung karena tertangkap basah.

            “Belum menemukan solusi untuk menyelesaikannya? Minta bantuan sama Allah. Ia akan menuntunmu saat kau tersesat dan meyakinkanmu ketika kau ragu. Percayalah kehendak Allah itu lebih indah, Pak Dany.” Nasehat Pak Parto pagi itu membawa hawa positif untuk Dany.

            Dany memejamkan matanya sesaat kemudian dia berbalik dan bersiap-siap mengajar.

--

            “Aku tidak mau.” tolak Dewi keras pada kedua orang tuanya. Napasnya naik turun, sebulir peluh menetes dari pelipisnya. Suasana ruang keluarga terasa amat mencekam penuh ketegangan.

            Damarnyono memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Belum lama ia mendengar anak dan istrinya berdebat kepalanya sudah berputar. “Sudah to, Bu.” ucap Damaryono pada akhirnya. Ia harap emosi istrinya tidak meluap-luap lagi.

            Sudut mata Dewi sudah berair tapi masih ditahannya agar tidak lolos keluar. Ia tidak mau terlihat lemah dihadapan orang tuanya. Ia menggigit bibir bawahnya, hatinya saat ini bergejolak.

            Ibu memarahi Dewi karena ia selalu menghindar jika disuruh untuk bertemu dengan Heru. Ibunya berharap jika Dewi akan lebih akrab dengan Heru toh mereka juga akan menikah, namun Dewi selalu mengelak dan pergi dengan alasan urusan kampus. Ibunya sudah tidak tahan dengan sikap Dewi.

            “Jadi apa maumu, Nduk?” tanya Ibu dengan nada yang sedikit menurun dibandingkan sebelumnya.

            “Aku tidak mau perjodohan ini berlanjut. Dewi mau menyelesaikan kuliah dan kerja setelah itu. Aku akan menikah nantinya tapi tidak untuk saat ini.” jawab Dewi dengan menahan tangisnya.

            “Ya Allah, Nduk. Kamu mau mempermalukan Ayah dan Ibumu?”

            “Dewi tidak bermaksud seperti itu. Tapi ini keputusan Dewi.” Setelah itu Dewi berlari menuju kamarnya dan menutup pintu dengan rapat. Di sanalah akhirnya tangis Dewi pecah. Semua yang ditahannya ia lampiaskan di dalam kamar. Ingin rasanya ia berteriak sekencang mungkin.

            “Jadi kita harus bagaimana, Yah?” Ibu bertanya pada Ayah Damar dengan nada lemah. Ia tidak habis pikir anak gadisnya akan benar-benar menentangnya.

            “Ya sudah, kita batalkan saja. Kita kan ya bisa bicara baik-baik dengan keluarga Pak Wira, Bu. Semua pasti ada solusinya.” kemudian Ayah Damar berdiri meninggalkan istrinya sendiri di ruang keluarga.

            Air mata Dewi belum juga habis, ia masih sesenggukan memeluk kedua kakinya di lantai. Wajah cantiknya terlihat sembab. Ia tahu jika ini salah tapi ia juga tidak mau terjebak dalam pernikahan yang tidak ia inginkan. Belum ada rencana pernikahan di dalam pikirannya jadi mustahil jika Dewi menerima perjodohan itu.

            Cahaya temaram kamar Dewi yang tersorot sinar rembulan malam itu tak sempat membuat hati Dewi membaik. Kepalanya mulai terasa pening karena menangis hampir satu jam lamanya. Ia memutuskan naik ke tempat tidur dan mencoba memejamkan matanya.


--


Bersambung...




#OneDayOnePost

April Cahaya
Pati, 24 Mei 2016

1 comments: