Pagi
ini mengingatkan Dany akan pertemuan pertamanya dengan Dewi. Ia tersenyum
menertawai sikap Dewi waktu itu. Gadis cantik yang ngomel-ngomel sendiri karena
hujan yang tanpa permisi telah menumpahkan airnya ke bumi.
Rinai kecil menghiasi pagi ini. Daun-daun
pohon mangga yang ada di halaman sekolah seakan menggigil kedinginan. Pandangan
Dany masih ke arah daun namun pikirannya melayang entah kemana. Ia akan
mengajar di jam kedua jadi jam pertama ia kosong. Ia sudah menyiapkan materinya
untuk hari ini maka
setidaknya ia masih punya waktu luang sedikit.
“Anak muda pagi-pagi dilarang
melamun. Nanti kesambet lho, Pak.” Dany terkesiap mendengar ucapan Pak Parto
yang membuyarkan lamunannya. Dany tersenyum canggung karena tertangkap basah.
“Belum menemukan solusi untuk
menyelesaikannya? Minta bantuan sama Allah. Ia akan menuntunmu saat kau
tersesat dan meyakinkanmu ketika kau ragu. Percayalah kehendak Allah itu lebih
indah, Pak Dany.” Nasehat Pak Parto pagi itu membawa hawa positif untuk Dany.
Dany memejamkan matanya sesaat
kemudian dia berbalik dan bersiap-siap mengajar.
--
“Aku tidak mau.” tolak Dewi keras
pada kedua orang tuanya. Napasnya naik turun, sebulir peluh menetes dari
pelipisnya. Suasana ruang keluarga terasa amat mencekam penuh ketegangan.
Damarnyono memijat pelipisnya yang
terasa berdenyut. Belum lama ia mendengar anak dan istrinya berdebat kepalanya
sudah berputar. “Sudah to, Bu.” ucap Damaryono pada akhirnya. Ia harap emosi
istrinya tidak meluap-luap lagi.
Sudut mata Dewi sudah berair tapi
masih ditahannya agar tidak lolos keluar. Ia tidak mau terlihat lemah dihadapan
orang tuanya. Ia menggigit bibir bawahnya, hatinya saat ini bergejolak.
Ibu memarahi Dewi karena ia selalu menghindar jika
disuruh untuk bertemu dengan Heru. Ibunya berharap jika Dewi akan lebih akrab
dengan Heru toh mereka juga akan
menikah, namun Dewi selalu mengelak dan pergi dengan alasan urusan kampus.
Ibunya sudah tidak tahan dengan sikap Dewi.
“Jadi apa maumu, Nduk?” tanya Ibu
dengan nada yang sedikit menurun dibandingkan sebelumnya.
“Aku tidak mau perjodohan ini
berlanjut. Dewi mau menyelesaikan kuliah dan kerja setelah itu. Aku akan
menikah nantinya tapi tidak untuk saat ini.” jawab Dewi dengan menahan tangisnya.
“Ya Allah, Nduk. Kamu mau
mempermalukan Ayah dan Ibumu?”
“Dewi tidak bermaksud seperti itu.
Tapi ini keputusan Dewi.” Setelah itu Dewi berlari menuju kamarnya dan menutup
pintu dengan rapat. Di sanalah akhirnya tangis Dewi pecah. Semua yang
ditahannya ia lampiaskan di dalam kamar. Ingin rasanya ia berteriak sekencang
mungkin.
“Jadi kita harus bagaimana, Yah?” Ibu bertanya
pada Ayah Damar dengan nada lemah. Ia tidak habis pikir anak gadisnya akan
benar-benar menentangnya.
“Ya sudah, kita batalkan saja. Kita
kan ya bisa bicara baik-baik dengan keluarga Pak Wira, Bu. Semua pasti ada
solusinya.” kemudian Ayah Damar berdiri meninggalkan istrinya sendiri di ruang
keluarga.
Air mata Dewi belum juga habis, ia
masih sesenggukan memeluk kedua kakinya di lantai. Wajah cantiknya terlihat
sembab. Ia tahu jika ini salah tapi ia juga tidak mau terjebak dalam pernikahan
yang tidak ia inginkan. Belum ada rencana pernikahan di dalam pikirannya jadi
mustahil jika Dewi menerima perjodohan
itu.
Cahaya temaram kamar Dewi yang
tersorot sinar rembulan malam itu tak sempat membuat hati Dewi membaik.
Kepalanya mulai terasa pening karena menangis hampir satu jam lamanya. Ia memutuskan naik ke
tempat tidur dan mencoba memejamkan matanya.
--
Bersambung...
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 24 Mei 2016
ayah baik tuh wi...
ReplyDelete