Langkah
kaki itu sangat pelan, seakan enggan untuk bergerak. Dewi keluar dari kampus
sekitar pukul empat sore. Tujuannya kini menuju masjid dimana dulu ia pernah
bertemu dengan Dany. Pesan singkat dari Dany yang memintanya datang ke masjid
ini lagi.
Desiran dalam tubuhnya tak mau
hilang sejak menginjakkan kaki di halaman masjid. Degupan jantung pun ikut
berpacu lebih cepat seperti biasanya. Dewi berusaha menetralkan semuanya namun
sia-sia.
Sosok itu sudah duduk di teras
masjid dengan tas punggung dan jaket hitam. Antara ragu dan tidak Dewi
melangkah mendekatinya.
“Assalamu’alaikum, Mas Dany.” salam
Dewi pelan tapi masih bisa didengar oleh Dany.
“Walaikumsalam.” jawab Dany dengan
sikap yang tiba-tiba kikuk sendiri. “Maaf, Wi. Aku sudah merepotkanmu untuk datang
ke sini. Kebetulan aku ada urusan tadi
dengan salah satu pengururs masjid jadi jika kita bertemu di sini apa salahnya
kan?”
Dewi mengangguk. Kemana perginya
Dewi yang cerewet, ia seperti kehilangan sosok dirinya sendiri. Untung saja
kondisi Dewi sudah membaik dari kemarin. Ia harus membolos kuliah karena
keadaan wajahnya yang hancur penuh sembab karena menangis semalaman. Tidak
mungkin ia pergi ke kampus dengan muka seperti itu, apa kata orang-orang?
“Ada sesuatu yang penting kah, Mas?”
untuk pertama kalinya Dewi memanggil Dany dengan embel-embel Mas. Ia rasa
sangat tidak sopan jika ia hanya memanggil Dany dengan nama.
“Oh... iya ada, Wi.” Dany terdiam
lagi. padahal sebelumnya ia sudah mempersiapkan kata-kata yang tepat tapi kini
sudah buyar entah kemana.
Dewi masih menunggu kata-kata yang
akan keluar dari mulut Dany selanjutnya. Suasana canggung kembali menyelimuti
mereka. Langit sore itu sangat cerah tidak seperti sore-sore sebelumnya yang
dihiasi mendung pekat.
“Wi, aku berniat untuk melamarmu.”
Jantung Dewi serasa berhenti
berdetak ibarat adegan slow motion
Dewi memandang wajah Dany saat itu juga dengan gerakan yang pelan. Tidak ada
keraguan di wajah itu namun hati Dewi masih ragu. Ia terbelunggu dalam
kata-kata yang ia ucapkan sendiri, bahwa sama sekali belum memikirkan tentang
pernikahan.
“Kenapa
harus sekarang sih, Mas?” batin Dewi protes.
Dewi memilin ujung jilbabnya, “Maaf,
Mas. Aku belum siap untuk menjalani pernikahan. Karena... aku pun sudah menolak
perjodohan dari orang tuaku dan memutuskan untuk mengejar impianku.”
“Jadi...”
“Jadi...”
Mereka sama-sama terkejut karena
tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama dalam waktu bersamaan. Kini mereka
berdua kembali diam. Seandainya saja ada pintu
kemana saja milik Doraemon ingin segera Dewi pulang sekarang.
“Jadi... aku belum bisa menerima
lamaran Mas Dany. Maaf.” ucap Dewi akhirnya.
“Oke. Aku mengerti.” Dibalik kata
itu ada hati yang diam-diam retak. Ia telah mengumpulkan keberanian dan
keyakinan untuk mengucapkannya tapi itu dipatahkan sekaligus dengan kata
penolakan.
Gerimis pagi yang menyebabkan
pertemuan mereka. Kenangan indah yang tak pernah terlupakan dalam hati dan
pikiran. Tetesan hujan yang selalu hadir dalam benih-benih cinta yang tercipta.
Sejuk menyirami hati yang kosong, sayang kesejukan itu belum mendapatkan tempat
yang tepat.
Jodoh, rezeki, dan maut tidak dapat
diprediksi oleh manusia. Meski kita yakin jika bukan jodoh maka tidak ada yang
bisa berbuat lebih.
Bersambung...
#OneDayOnePost
April Cahaya
Pati, 25 Mei 2016
Dewi pasti simalakama..
ReplyDeleteBuah simalakama nih
ReplyDeleteDuhhh... Istikharah Wii...
ReplyDeleteYaahhh...kecewa (T_T)
ReplyDelete