Gerimis Pagi - Bab 18


Langkah kaki itu sangat pelan, seakan enggan untuk bergerak. Dewi keluar dari kampus sekitar pukul empat sore. Tujuannya kini menuju masjid dimana dulu ia pernah bertemu dengan Dany. Pesan singkat dari Dany yang memintanya datang ke masjid ini lagi.

           Desiran dalam tubuhnya tak mau hilang sejak menginjakkan kaki di halaman masjid. Degupan jantung pun ikut berpacu lebih cepat seperti biasanya. Dewi berusaha menetralkan semuanya namun sia-sia.

            Sosok itu sudah duduk di teras masjid dengan tas punggung dan jaket hitam. Antara ragu dan tidak Dewi melangkah mendekatinya.

            “Assalamu’alaikum, Mas Dany.” salam Dewi pelan tapi masih bisa didengar oleh Dany.

        “Walaikumsalam.” jawab Dany dengan sikap yang tiba-tiba kikuk sendiri. “Maaf, Wi. Aku sudah merepotkanmu untuk datang ke sini.  Kebetulan aku ada urusan tadi dengan salah satu pengururs masjid jadi jika kita bertemu di sini apa salahnya kan?”

            Dewi mengangguk. Kemana perginya Dewi yang cerewet, ia seperti kehilangan sosok dirinya sendiri. Untung saja kondisi Dewi sudah membaik dari kemarin. Ia harus membolos kuliah karena keadaan wajahnya yang hancur penuh sembab karena menangis semalaman. Tidak mungkin ia pergi ke kampus dengan muka seperti itu, apa kata orang-orang?

            “Ada sesuatu yang penting kah, Mas?” untuk pertama kalinya Dewi memanggil Dany dengan embel-embel Mas. Ia rasa sangat tidak sopan jika ia hanya memanggil Dany dengan nama.

            “Oh... iya ada, Wi.” Dany terdiam lagi. padahal sebelumnya ia sudah mempersiapkan kata-kata yang tepat tapi kini sudah buyar entah kemana.

            Dewi masih menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut Dany selanjutnya. Suasana canggung kembali menyelimuti mereka. Langit sore itu sangat cerah tidak seperti sore-sore sebelumnya yang dihiasi mendung pekat.

            “Wi, aku berniat untuk melamarmu.”

          Jantung Dewi serasa berhenti berdetak ibarat adegan slow motion Dewi memandang wajah Dany saat itu juga dengan gerakan yang pelan. Tidak ada keraguan di wajah itu namun hati Dewi masih ragu. Ia terbelunggu dalam kata-kata yang ia ucapkan sendiri, bahwa sama sekali belum memikirkan tentang pernikahan.

            “Kenapa harus sekarang sih, Mas?” batin Dewi protes.

            Dewi memilin ujung jilbabnya, “Maaf, Mas. Aku belum siap untuk menjalani pernikahan. Karena... aku pun sudah menolak perjodohan dari orang tuaku dan memutuskan untuk mengejar impianku.”

            “Jadi...”

            “Jadi...”

            Mereka sama-sama terkejut karena tanpa sengaja mengucapkan kata yang sama dalam waktu bersamaan. Kini mereka berdua kembali diam. Seandainya saja ada pintu kemana saja milik Doraemon ingin segera Dewi pulang sekarang.

            “Jadi... aku belum bisa menerima lamaran Mas Dany. Maaf.” ucap Dewi akhirnya.

            “Oke. Aku mengerti.” Dibalik kata itu ada hati yang diam-diam retak. Ia telah mengumpulkan keberanian dan keyakinan untuk mengucapkannya tapi itu dipatahkan sekaligus dengan kata penolakan.

            Gerimis pagi yang menyebabkan pertemuan mereka. Kenangan indah yang tak pernah terlupakan dalam hati dan pikiran. Tetesan hujan yang selalu hadir dalam benih-benih cinta yang tercipta. Sejuk menyirami hati yang kosong, sayang kesejukan itu belum mendapatkan tempat yang tepat.


            Jodoh, rezeki, dan maut tidak dapat diprediksi oleh manusia. Meski kita yakin jika bukan jodoh maka tidak ada yang bisa berbuat lebih.



Bersambung...


#OneDayOnePost


April Cahaya
Pati, 25 Mei 2016

4 comments: