Sang Gadis Pemarah (2)


Alev menggenggam sendoknya sejak lima menit yang lalu. Sepotong roti, daging, baked beans, tomat panggang dengan taburan lada hitam, satu potong sosis dan kentang, semuanya tersaji lengkap di depannya. Tapi Alev tak berniat memakannya.

"Apa yang kau pikirkan? Cepatlah makan." ucap ibunya–Emily Grishoff.

"Ibu, apa kau bertemu dengannya kemarin?" Pertanyaan Alev membuat Emily menghentikan aktivitasnya saat itu juga.

"Apa dia menemuimu? Apa yang dia katakan? Kuharap kau tidak mempercayainya." Emily kembali melakukan kegiatannya memanggang sosis.

Alev mengangguk, kemudian dia mulai memakan rotinya. Dia tidak suka roti yang selalu dibeli oleh ibunya, terlalu keras. Satu-satunya yang dia sukai dari masakan ibunya adalah daging panggang yang bisa dia makan hanya sebulan sekali.
Emily hanya mampu membeli daging saat dia gajian tiap bulannya.

"Tidak bisakah dia lenyap dari hidupku? Maksudku hidup kita." Emily memandang Alev dengan wajah pias. Ia tahu sebentar lagi emosi Alev akan meledak.

"Dia datang ke sekolahku dan dia mengatakan apakah aku tidak merindukannya? Konyol sekali. Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk merindukannya. Ibu, aku tidak ingin melihatnya lagi. Tidak. Hidupku sudah mengerikan karena dia. Tolong hentikan semua ini."

"Alev, apa kau mendengarku? Tolong jangan seperti ini lagi. Hentikan. Kau tidak bisa seperti ini setiap mengingatnya." Emily memeluk putri satu-satunya itu. Dia mengingat apa yang dilakukan oleh mantan suaminya sekaligus ayah dari Alev. Christof Petterson–seorang pria yang telah meninggalkan keluarganya. Dia sangat kejam dengan istri dan putrinya. Alev, dia menjadi pemarah dan tidak bisa terkendali karena ayahnya.

Emily sangat menyayangi putrinya tapi dia sama sekali tidak mampu mengendalikan sikap Alev.
Yang bisa dilakukan Emily saat ini hanya memeluk putrinya dengan erat meski Alev memberontak. Di saat Emily sudah tidak sanggup menghentikan amarah putrinya dengan pelukan maka dia akan menampar Alev. Dengan sangat keras.

"Tenanglah Alev, aku bersamamu. Pria itu tidak akan menyakitimu lagi. Aku berjanji."

Napas Alev masih memburu, dadanya naik turun. Dahinya masih berkeringat, tapi Emily tidak melepas pelukannya sedikitpun.

"Kau yakin?" ucap Alev dengan sangat pelan.

"Ya."

Hening. Mereka masih berpelukan tanpa suara. Emily merasakan sakit yang di derita Alev, dia tahu bagaimana tersiksanya Alev. Tapi Emily tidak bisa melakukan apapun. Dia berharap bisa mengurangi rasa sakit yang di derita putrinya.

---

Angin musim panas berhembus pelan. Alev menikmati istirahat siangnya di halaman sekolah. Di bawah pohon ek tua dan sebuah bangku panjang, di sanalah tempat Alev menghabiskan istirahat siangnya.

Ia jarang membawa bekal, hanya sebotol air minum dan apel yang selalu menemaninya membaca buku.
Kali ini Alev membaca buku Harry Potter seri kedua, The Chamber of Secret. Di ingin mempunyai sebuah kamar rahasia dan hanya dia yang tahu. Dia akan lebih banyak menghabiskan waktunya di sana. Alev juga tidak harus bertemu dengan orang-orang yang mmbuatnya emosi. Ya, Alev berharap mempunyai tempat seperti itu.

Bagian favorit Alev dari novel itu adalah di saat seekor ular besar penghuni kamar rahasia yang bernama Basilisk muncul. Entah apa yang membuat Alev begitu tertarik dengan penggambaran sosok makhluk magis dalam cerita itu. Sosoknya yang mengerikan sebagai peliharaan dari Tom Riddle.

Pada bab itu Alev selalu tenggelam dalam cerita hingga ia tak sadar ketika seseorang mendekatinya.

"Hai, bolehkah aku bergabung?" Suara seseorang membuat Alev terperanjat.


To be continued...



---

April Cahaya

4 comments: