Sang Gadis Pemarah (1)

                                     Image from google


Dia bukanlah gadis yang cantik, dia juga bukan gadis yang buruk rupa.

Dia biasa-biasa saja, tidak istimewa.
Tubuhnya tidak kurus, tinggi badannya hanya 158 cm. Seperti daun kering yang hanyut bersama aliran air sungai dia sedikitpun tidak memiliki keistimewaan.

Sang gadis memiliki sifat yang teramat buruk. Dia mudah marah disaat orang lain mengusiknya dari kegiatan menyendirinya duduk di bawah pohon ek tua di belakang sekolah. Matanya akan menatap penuh amarah yang berkobar ketika seseorang mengatakan jika kegiatan membacanya adalah hal yang tak berguna. Dia benci itu.

Dia adalah gadis pemarah yang ingin menemukan kebahagiaan. Ibunya pernah berkata "Apakah kau pikir dengan sikapmu seperti itu, akan ada laki-laki yang mendekatimu?"

Gadis itu geram, kenapa ibunya selalu mengatakan hal yang tidak berguna? Setelahnya dia akan mengunyah rotinya lebih cepat dan meneguk segelas susu yang sudah disiapkan di meja. Dengan terburu-buru dia menyambar tas sekolahnya dan berharap dia akan segera sampai di sekolah.

Tetapi, sekolah bukanlah tempat yang baik untuknya. Dia sering menyendiri di pojok perpustakaan dengan membaca buku-buku karya Rick Riordan. Seolah-olah dia akan pergi ke negeri dimana ada naga, kurcaci, goblin dan orang-orang yang mempunyai kekuatan magis.

Gadis itu akan marah saat ada seseorang yang tanpa sengaja menginjak kakinya yang berselonjor di lantai. Seperti biasa, sorot matanya yang tajam akan membuat siapapun takut dengannya. Mata itu seperti mata serigala yang kelaparan. Melolong memanggil kawanannya untuk berburu.

"Alev, seseorang memanggilmu di luar sana."

Gadis itu mendongak menatap teman sekelasnya yang memakai kacamata super tebal. Dia berdiri perlahan, membersihkan debu tak kasat mata yang ada di roknya.

"Aku akan ke sana."

Gadis berkacamata itu beranjak pergi meninggalkan Alev–sang gadis pemarah.

---

"Apa yang kau lakukan di sini? Aku rasa ini bukan wilayahmu." ucapan Alev terdengar sinis dan sakartis.

Wajahnya datar terkesan menahan emosi. Ada sesuatu yang tidak ia sukai dari orang yang sekarang berdiri dihadapannya.

"Aku ingin menemuimu. Tidakkah kau merindukanku?" tanya orang itu. Dia adalah seorang laki-laki berumur sekitar empat puluhan yang memakai mantel berwarna hijau tua dan sepatu boat hitam.

"Aku rasa tidak ada alasan untuk merindukanmu."

Laki-laki itu tersenyum. Senyumnya begitu mengerikan bagaikan seringaian bandit kota yang ingin menculik korbannya. Alev membenci laki-laki itu. Ia sudah melupakan hubungannya dengan laki-laki itu dan menghapus segala memori buruk yang pernah terjadi.

Dibalik sikap pemarahnya Alev, laki-laki inilah penyebabnya. Dulu, Alev bukanlah gadis yang tempramental seperti saat ini. Dia adalah gadis pendiam yang tak suka memberontak.

"Pergilah. Dan jangan pernah muncul di depanku." Alev mengusir laki-laki itu dengan wajah yang sudah memerah.

"Ibumu, bagaimana kabarnya?"

"Dia bukan wanitamu lagi." Alev berbalik. Dia akan kembali lagi masuk ke gedung sekolah. Tapi tangan kasar itu menarik lengan Alev.

Sorot tajam mata Alev seolah bisa membelah tubuh laki-laki itu. Perlahan laki-laki itu melepaskan tangan Alev.

"Oh maafkan aku."

Tanpa banyak bicara Alev kembali berjalan tanpa mempedulikan tatapan memohon dari laki-laki itu.



To be continued...


---

April Cahaya

14 comments: