Suara
batuk-batuk terdengar di dalam kamar sebelah. Gadis kecil itu menghentikan
aktivitasnya sejenak. Sorot matanya begitu polos, dalam benaknya ia merasa
kasihan dengan ibunya yang beberapa hari ini sakit.
Tidak lagi terdengar suara batuk
dari ibunya, ia memilih melanjutkan mengerjakan PR-nya. Jam dinding menunjukkan
pukul sembilan malam, namun gadis itu masih belum juga tidur. Ia masih bergelut
dengan bukunya, diam-diam ia mengeluarkan buku cerita dari dalam tasnya. Tadi
di sekolah ia meminjam buku cerita dari perpustakaan. Tidak banyak memang
anak-anak di sana yang mempunyai minat baca. Bahkan kondisi perpustakaan pun
sangat tidak layak di sebut perpustakaan.
Buku-buku di perpustakaan sekolah
sudah berdebu, berserakan kemana-mana. Kaki gadis kecil itu melangkah memasuki ruangan yang tidak banyak dijamah oleh
penghuni sekolah. Sebenarnya ia sedikit takut karena ruangan itu terlihat
menyeramkan. Bulu kuduk gadis itu juga
sempat berdiri.
“Ana.
Kamu ngapain?” seorang gadis kecil yang seusia Ana berdiri di depan pintu
ruangan perpustakaan. Gadis yang dipanggil Ana itu pun menoleh.
“Aku? Mau pinjam buku.” Ana tersenyum memperlihatkan
giginya yang ompong satu.
“Di sini serem lh, Na.” kata gadis kecil satunya dengan
tangan memeluk dirinya sendiri.
“Aku tidak takut kok.”
“Nanti ada hantunya.”
“Ini masih siang kok, tidak ada hantu.” Ana lagi-lagi
tersenyum. Gadis itu benar-benar pemberani. Gadis kecil itu pergi meninggalkan
Ana sendirian. Kemudian Ana melanjutkan mencari-cari buku yang mungkin menarik
perhatiannya. Dan satu buku dengan gambar kelinci yang memegang donat membuat
Ana penasaran.
Ana membuka halaman pertama bukunya,
kemudian ia kembali menutupnya untuk membaca judul yang ada di bagian sampul
depan. Kelinci Si Pencuri Donat. Ana
tersenyum dan terkekeh sendiri membaca judul bukunya itu. Ia kembali membuka
halaman pertama.
Buku itu menceritakan seekor kelinci
yang telah dipelihara oleh seorang wanita gendut di sebuah kota. Setiap hari
kelinci itu selalu diberi makan wortel oleh si wanita gendut. Suatu hari wanita
gendut itu lupa memberi makan kelicinya, si kelinci kabur dari kandangnya dan
memakan hampir separuh donat yang baru saja dibuat sang wanita gendut untuk
acara di rumahnya. Si wanita gendut marah dan hampir membunuh si kelinci.
Tetapi anak wanita gendut itu melarang ibunya dan akan marah jika ibunya hendak
membunuh si kelinci. Pada akhirnya si kelinci dikembalikan ke kandang dan si
kelinci sekarang menjadi hewan kesanyangn sang anak wanita gendut.
Ana terkikik lagi. Baginya itu
cerita yang menarik, biasanya ia selalu membaca kancil si pencuri timun tapi
kali ini berbeda. Ia jadi teringat dirinya sendiri yang penjual donat. Ya, dia
sering berjualan donat setelah pulang sekolah. Ana membantu ibunya berjualan
keliling kampung. Ia akan menjajakan donatnya pada ibu-ibu yang sering ngerumpi
di depan rumah ataupun di warung-warung.
Ana mendongak ke ruang depan,
melihat jam dindingnya sudah hampir pukul sebelas malam. Hanya ada satu jam
dinding di rumahnya, dan itu letaknya di ruangan depan. Ana segera berjalan
lagi menuju kamarnya. Tetapi ia berbelok ke kamar ibunya. Ibunya tertidur
dengan pulas sedangkan sang ayah malam ini bertugas untuk meronda. Jadi malam
ini hanya mereka berdua yang berada di rumah.
Setelah memastikan ibunya baik-baik
saja, Ana kembali ke kamarnya dan bergegas tidur.
--
Gerimis masih belum juga reda sore
itu. Ana pulang dengan sesenggukan. Bajunya sedikit kotor. Ia mengucapkan salam
begitu masuk ke dalam rumah. Ibu menghampiri Ana yang tangisannya semakin
kencang.
“Ana kenapa, Nduk?” tanya Ibu cemas. Ana masih saja menangis. Gadis kecil itu
merogoh sakunya dan memberikan uang enam ribu rupiah pada ibunya. Ibu masih
menatap wajah anak gadisnya dengan seksama. Ada noda tanah lumpur di dekat
hidungnya. “Kenapa? cerita sama Ibu.”
“Donatnya jatuh, Bu.” Ana menunduk,
sesekali mengusap air matanya dari pipi. “Tadi ada jatuh ke parit, donatnya
jatuh semua. Baru kejual sedikit.”
Ibu tersenyum, mengusap kedua pipi
anaknya itu. “Ndak apa-apa, besok jualan lagi ya. Ibu kan masih buat donat.
Lagian ibu udah sembuh kok, jadi ibu bisa buat donat lebih banyak lagi. Nanti
kita jualan bareng ya.”
Wajah anak kembali sumringah, ia
mengangguk antusias.
“Ana mau makan donat? Baru matang
lho masih anget.” Ana mengangguk lagi. Dan tiba-tiba ada yang mengucapkan salam
dari depan rumah. Ibu dan anak itu kompak menjawab salam.
“Bapak.” Ana berlari ke depan rumah
begitu melihat bapaknya pulang. “Bapak, ayo makan donat bareng-bareng Pak. Kata
Ibu donatnya masih anget, enak lho.”
Pria itu tersenyum melihat binar
bahagia di mata anaknya. Memang bahagia itu sederhana, bagi ia melihat senyum
hangat gadis kecilnya itu membuat capeknya hilang begitu saja. “Iya, tolong
Bapak buatkan kopi ya.”
“Ana tidak bisa buat kopi, Pak.”
Pria itu tertawa renyah, “Ya sudah,
Ibu saja yang buatkan. Padahal Bapak pengen kamu yang bikin lho.”
“Nanti kalau Ana sudah besar, Pak.”
Mereka tersenyum bersamaan. Sore
itu, di saat gerimis masih setia membasahi bumi, angin yang terasa dingin dan
menghempaskan daun-daun yang mulai rontok dari dahan, ada satu kehangatan yang
tercipta di sebuah keluarga sederhana.
---
Ahh.. Sweet banget mbak april... 😍
ReplyDeleteHihihi makasih mbk Sas
DeleteKereenn... Mau nangis bacanya..
ReplyDeleteCup cup.. Jangan nangis mbk
DeleteSedih
ReplyDelete