Jejak yang Tertinggal
Langit masih tetap berwarna biru, ia pun masih meneteskan air ketika awan kelabu menyelimuti. Itu artinya aku masih mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi lebih baik.
Bukannya aku tak peduli dengan masa laluku, aku hanya tidak ingin terus terpuruk ke dalam belenggu gelap yang akan menarikku kembali.
"Kok sekarang kamu banyak diem sih?" Aku menoleh ke sampingku, dia adalah temanku. Teman yang masih saja mau menemaniku di kala aku terpuruk maupun saat aku kembali bangkit.
"Lebih baik diem daripada nanti aku keceplosan kata-kata kasar dan sumpah serapah. Soalnya aku masih sering kayak gitu."
Temanku mendengus geli. "Susah sih ya kalau nih mulut sering hilang kontrol."
"Makanya mau aku biasain ngomong yang baik-baik."
Ia tersenyum dan menepuk bahuku dua kali. "Pulang yuk ah." Aku berdiri mengikutinya.
--
Ternyata hujan tadi hanya sebuah tipuan. Bagaimana tidak? Baru saja butiran air dari langit itu turun dengan cepatnya tanpa aba-aba, dan sekarang langit kembali dengan cerahnya.
Sialnya kenangan itu kembali muncul di kepalaku. Bersamanya, malam itu...
Hujan yang turun tiba-tiba saat kita baru saja duduk di tikar yang disediakan oleh penjual wedang ronde. Terpaksa kita berteduh dengan dua es krim, satu ukuran satu cup kecil dan satunya satu wadah kotak besar. Lucu juga, kenapa kamu makan es krim tapi memesan wedang ronde juga?
"Nggak apa-apa kok. Tenang aja, perutku masih muat." Aku hanya tersenyum dan mencibirmu.
Kenapa kenangan bersamamu selalu datang tanpa permisi? Mengusik setiap memori yang tiba-tiba muncul. Menciptakan sebuah letupan perasaan yang tak pernah berhasil aku kendalikan.
Bus yang aku tumpangi melaju perlahan setelah sebelumnya berhenti menanti para penumpang yang tak kunjung datang. Awan abu-abu kembali datang, itu artinya hujan yang sempat tertunda tadi akan datang lagi. Setidaknya aku harus sampai rumah sebelum hujan turun.
---
Satu pesan darimu aku abaikan. Melempar benda persegi panjang berwarna putih di tempat tidur. Aku duduk di tepi tempat tidur. Sesekali mataku melirik ke arah ponselku.
Apa dia tidak mengirim pesan lagi setelah aku abaikan pesan dia sebelumnya?
Entahlah aku tidak peduli. Aku menghela napas kasar. Setidaknya selama ini aku sudah berusaha melupakanmu. Ah bukan, tepatnya tidak lagi memikirkanmu. Tetapi setiap kali aku menerima pesan darimu atau tak sengaja berpapasan denganmu, pasti degup jantungku masih meloncat-loncat seperti dulu.
Apakah aku memang sangat menginginkanmu?
Lupakan dan lupakan nama itu. Tapi aku tak bisa...
Tanpa sengaja aku melihat bukumu berada diantara deretan buku-bukuku di rak. Aku mengulurkan tanganku untuk mengambilnya. Mungkin kali ini aku mempunyai alasan yang tepat untuk bertemu dengannya satu kali lagi.
---
Sial. Jantungku masih saja berdetak dengan cepatnya. Padahal aku hanya akan bertemu denganmu, itu pun tak lama. Aku mengecek ponselku menjadi lebih sering dari biasanya. Pesanmu juga tak kunjung muncul.
Dan...ketika namamu muncul di layar ponselku, aku terlonjak.
"Iya, hallo..."
"Aku udah di depan." katanya. Aku segera berdiri dari kursiku dan keluar menemui dirinya.
Dia tersenyum seperti biasanya. Senyum yang telah melekat erat dalam ingatanku.
"Makasih yah. Sudah aku baca semuanya. Tapi ceritanya nggak begitu lucu. Suka buku yang sebelumnya."
Ya Tuhan, kenapa aku selebay gini?
"Oke. Aku malah hampir lupa lho klo kamu pinjam buku ini."
"Oh... Makanya ini aku kembaliin biar kamu inget." Aku tertawa kaku. Tidak ada yang lucu kenapa aku tertawa?
"Aku balik ya." Aku mengangguk. Setelah itu dia pergi, tapi namanya tak pernah pergi dari hatiku.
Seberapa kuat aku melupakanmu, seberapa keras aku berusaha menghapus namamu dalam daftar orang istimewa di hatiku, aku tidak bisa. Aku gagal melakukannya.
Jejak kenangan itu masih tertinggal dan melekat dalam memori. Mungkin selamanya pun aku tak bisa melangkah pergi darinya, tetapi mulai saat ini aku ingin perlahan melepasnya. Lepas dari belenggu cinta yang tidak dia sadari.
---
"Kamu yakin bakal lupain dia?" Temanku itu tak pernah menyerah dengan pertanyaannya. Sudah tiga kali dia menanyakan pertanyaan yang sama. Dan aku hanya menanggapinya dengan anggukan.
"Yakin beneran? Nggak mau berjuang?"
Aku tertawa miris. "Aku bukan seorang pahlawan yang harus berjuang."
"Emangnya yang berhak berjuang hanya pahlawan? Hidup ini harus penuh perjuangan. Emangnya kamu hijrah seperti ini nggak butuh perjuangan apa?"
Aku terdiam. Kata-kata temanku ini benar. Hidup itu butub sebuah perjuangan, tetapi untuk berjuangan mendapatkan hatinya itu sungguh mustahil.
"Hei..." Temanku sengaja menyenggol lenganku, tetapi aku mengabaikannya. "Hei..."panggilnya lagi. "Itu bukannya dia? Ngapain ke sini? Sengaja mau ketemu kamu?"
Perhatianku tertuju pada laki-laki yang baru saja turun dari motornya.
Tanpa sadar ternyata jantungku sudah berdegup kencang dengan seenaknya. Sialan.
Dia tersenyum menghampiriku. "Apa kabar?"
"Baik." jawabku lirih.
Dia menyodorkan sebuah kertas berwarna keemasan dengan pita yang membalutnya. "Khusus kamu aku anterin langsung. Jangan lupa dateng ya."
Sepertinya oksigen di sekitarku mendadak menipis. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum dirinya menghilang di jalan raya.
"Kamu nggak apa-apa? Yang sabar..."temanku ini menepuk bahuku beberapa kali. "Kamu beneran ikhlas dia menikah dengan orang lain?"
Aku hanya mengangguk lemah dan genangan air sudah berkumpul di pelupuk mataku. Kenyataannya jejak namanya masih tertinggal, cintaku masih saja tersemat untuknya.
#cerpen
Pati, 13 Maret 2016
April Cahaya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Mba april cantik... saya Suka gaya berceritamu.. ^^
ReplyDeleteMakasih Mbak Irma :)
DeleteSedih
ReplyDeletehuwaaaaa....
ReplyDeleteSaatnya ngrubah ending, hhaa.