This is Something Called Love
Terkadang memperhatikanmu fokus dengan kain kanvas, palet, cat, dan kuasmu itu membuatku terpana sesaat. Rambut gondrong yang sering kau ikat sembarangan itu sering mencuat menutupi pandanganmu. Rasanya ingin sekali aku menariknya dan menjambak rambutmu itu. Kenapa? Karena aku risih. Bahkan rambutmu lebih panjang dariku.
"Jangan lihatin gue sampai segitunya, El. Nanti ganteng gue luntur."
Aku berdecak keras dan melempar gulungan kertas lecek yang tiba-tiba saja aku dapatkan dari meja.
"Berarti ganteng lo bohongan dong. Kalau ganteng beneran mah nggak akan luntur, Ki."
Dia tertawa keras. "Kegantengan gue ini alami, El. Bawaan lahir."
"Terus siapa tadi yang bilang bakalan luntur? Gimana sih? Kalau emang ganteng ya ganteng aja. Mana ada kegantengan luntur? Sarap lo."
"Wah.. Wah... El, lo baru aja mengakui kegantengan gue. Thats so amazing. For the first time you called me handsome. Thanks, El." Aku mencibir setelah mendengar kata-katanya yang terlalu percaya diri itu.
"Ki, lo nggak ada makanan?" tanyaku pada Eki yang masih fokus pada lukisannya.
"Nggak ada. Lo mau gue beliin makanan? Apa? Ayam goreng? Nasi goreng?" tanyanya dengan pandangan sepenuhnya menatapku.
"Terserah." jawabku singkat.
"Nggak ada makanan yang namanya terserah, El." Aku mendengus dan menghempaskan tubuhku di sofa panjang berwarna gelap di ruangan itu.
"Nasi goreng deh." Dia mengangguk dan beranjak dari tempatnya. Dia mendekatiku dan mengacak rambutku pelan. "Woi, itu tangan lo masih ada catnya. Kalau sampai rambut gue kena cat, gue bunuh lo."
Bukannya marah atau protes dia malah tertawa dan pergi begitu saja.
Aku menatap punggungnya yang hilang di balik pintu. Aku memejamkan mataku dan menghembuskan nafas kasar beberapa kali. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku malah lebih betah di tempat ini dibanding di rumahku sendiri?
---
Mataku tak bisa lepas dari lukisan di depanku ini. Awalnya aku tak menyadari jika sudut ruangan yang kasat mata itu ada sebuah lukisan yang tersembunyi, hingga siapapun yang memasuki studio miliknya tak akan tahu jika ada satu lukisan di sana.
"Bagaimana bisa..." Aku mendengar langkah kaki yang masuk. Cepat-cepat aku kembali menutup lukisan itu dan mengembalikan posisinya seperti awal.
"Hai, Ki. Dari mana aja lo? Tadi gue asal masuk nggak apa-apa kan?"
Dia tertawa. Aku tebak jika hobi dia bukan hanya melukis melainkan tertawa setiap saat juga.
"Kayak lo biasanya masuk pakai permisi segala." Aku mengekor di belakangnya memasuki dapur kecil yang biasanya sering dia pakai untuk membuat mie instan atau membuat makanan ala kadarnya. "Tuh tadi gue beli martabak kalau lo mau."
Aku tak menghiraukan kata-katanya. Aku terus berjalan mengikutinya dan memeluknya dari belakang. Aku rasa dia sedikit kaget.
"Hei, lo kenapa El?" tanyanya.
"Sebentar saja, Ki. Hanya lima menit." Dia tidak bersuara. Suasana semakin hening, aku rasa hanya detak jantungku yang semakin nyaring. Aku tak peduli jika dia mendengarnya, memang itulah yang aku harapkan. Agar dia tahu perasaanku padanya.
---
Hari ini aku menemaninya menghadiri pameran lukisan di sebuah acara resmi tahunan. Sudah ketiga kalinya dia mengikuti pameran ini. Dan karya-karyanya selalu menarik perhatian semua orang. Termasuk diriku.
Aku menyukai semua lukisannya. Baik masih berupa sketsa atau hanya sekedar coretan cat yang tak berarti tapi kemudian menghasilkan lukisan abstrak yang sangat mengagumkan.
Tiba-tiba saja sebuah tangan yang besar itu meraih tanganku. Menggenggamnya erat. "Mau lihat lukisan gue yang gue pamerkan kali ini?" Aku mengangguk semangat.
Dia menarik tanganku. Ya Tuhan... tak hanya jantungku yang nakal, bahkan kakiku saja rasanya seperti jelly. Dia hanya menggenggam tanganku, ingat hanya menggenggam saja tetapi aku sudah selemah ini.
Dia berhenti dan menunjukkan tiga lukisan yang dia pajang di ruangan ini. Banyak orang berkerumun di depan lukisan itu. Ada yang memotret, ada juga yang hanya menatapnya lekat dengan wajah penuh keheranan.
Dan... yang paling syok melihatnya adalah aku. Ya... Karena ketiga lukisan di sana adalah diriku.
Aku yang sedang duduk membaca buku dengan background halaman belakang rumah dengan taman kecil.
Aku yang sedang meminum kopi sambil menopang dagu dengan background sebuah kafe yang letaknya di dekat pematang sawah.
Dan yang ketiga adalah saat aku tertawa lepas tanpa beban di sebuah bukit buah di daerah Mangunan, Jogja. Aku ingat tempat itu, dimana aku dan dia menghabiskan weekend terakhir bulan November kemarin.
Semuanya terasa alami dan membuat siapa saja melongo melihatnya.
"Sejak kapan lo melukis aliran naturalisme? Bukannya lo aliran impresionisme?" Pertanyaanku hanya dia jawab dengan senyuman. Aku suka dengan senyumannya tetapi aku tidak suka jika dia tidak menjawab pertanyaanku.
Aku teringat ketiga lukisan itu bukan salah satu lukisan yang aku lihat di ruangannya waktu itu.
"Ki, jujur sama gue. Lo masih menyimpan satu lagi lukisan gue kan?"
Wajahnya tampak terkejut, dia menatapku lekat.
"Maaf gue nggak senga...ja lihat waktu itu. Maafin gue, Ki. Tapi... kenapa?"
Dia terdiam masih menatapku. Dan tatapannya itu membuatku semakin gugup.
"Cause you're special, El." ucapnya. Aku terpaku. Tanganku mulai berkeringat.
"Martabak kali pakai spesial."
Tiba-tiba saja ada seseorang yang mendekati kami. "Permisi. Apakah Anda yang bernama Eki Satya Kurniawan?" Dia mengangguk. "Bolehkah saya mewawancarai Anda sebentar?"
"Ya, boleh." Dia melirik ke arahku sekilas. "Anda tidak ingin mewawancarai perempuan ini juga?" Wartawan itu tampak bingung. "Dia adalah objek dari lukisan itu."
"Woah... Kebetulan sekali. Mbak tidak keberatan kan?" pertanyaan wartawan itu hanya aku jawab dengan anggukan. Harusnya aku tidak terlibat dalam acara ini. Hah.
Dia kembali menarik tanganku mengikuti wartawan itu menuju lukisannya yang masih banyak dikerubuti orang seperti layaknya semut yang mengerubuti makanan manis.
---
"Bagaimana Anda menciptakan gradasi warna yang begitu pas dan mengagumkan?"
"Hem... Segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perasaan apalagi dalam bidang seni. Jadi saya melakukannya dengan perasaan, seolah-olah saya memang menciptakan wajah cantiknya." Dia tertawa sedangkan aku tersipu.
Bagaimana bisa dia memujiku dengan entengnya di depan banyak wartawan. Perlahan aku melepaskan diri dari kerumunan itu setelah ditanyai apa hubunganku dengannya dan kenapa aku yang menjadi inspirasinya untuk melukis. Entahlah... Aku tidak bisa menjawabnya.
Aku berjalan ke salah satu lukisan wajahku saat tertawa lepas. Apakah dia membayangkan wajahku saat melukis ini? Atau dia sudah terbiasa memeperhatikan wajahku saat tertawa?
Tanganku terulur menyentuh lukisan yang dilapisi kaca tebal itu. Bagaimana bisa aku mengontrol perasaanku yang semakin meluap ini? Tanggul pertahananku sebentar lagi akan hancur. Aku tak bisa lagi menahannya.
"El..." Aku menoleh ke suara yang memanggil namaku. Aku mendapatinya tersenyum dan berjalan sambil memasukkan salah satu tangannya ke dalam sakunya.
"Pameran hampir selesai, lo nggak pengen pulang?"
"Bentar lagi." Aku kembali memandang satu per satu lukisan itu lagi. "Ki... Gue tadi denger lo mau ke Itali?"
Dia memandangku dari samping tanpa berkedip. "Hem."
"Bawa gue pergi bersama lo, Ki." Dia mengerjap cepat dan membalikkan tubuhku menghadapnya."Gue sayang sama lo, Ki."
"El, lo jangan gila. Dua minggu lagi lo nikah." Dia menatapku tajam.
"Gue nggak peduli dengan pernikahan itu. Pernikahan itu bukan keinginan gue." Air mataku mulai berlomba keluar dari persembunyiannya. Dia mengusap air mataku dengan lembut. "Bawa gue bersama lo, Ki. Gue mohon."
Dia menarikku ke dalam pelukannya. Bukannya mereda, tangisanku semakin menjadi-jadi. Aku takut kehilangan sosok yang memelukku saat ini. Aku takut jika aku tak lagi merasakan kenyamanan yang tak bisa aku temukan di laki-laki mana pun.
"Gue lebih sayang sama lo, El."
Aku memohon padanya dengan lirih. Aku ingin selalu menemaninya mencampurkan berbagai warna dalam paletnya, aku suka melihatnya menarikan kuasnya di atas kanvas dan aku candu melihat wajahnya ketika serius melukis. Apapun yang ada dalam dirinya, aku menyukainya. Karena hidupku tanpanya akan pucat, tak seindah gradasi warna yang ia padukan di dalam lukisannya.
I'll be on his side. Hold his hand and said that I'm in love. For the first time I met him, I know that my heart has been taken by him. I'm yours. And this is something called love.
---
#cerpen #tantanganODOP #romance #shortstory
Pati, 14 Maret 2017
April Cahaya
Subscribe to:
Post Comments
(
Atom
)
Keren mba
ReplyDelete