Aku menghela napas pelan. Aku kembali menyesap Taro Milk Latte yang sejak tadi aku pesan. Kini minuman itu tidak panas lagi, angin sore yang berhembus begitu kencang mungkin cepat membuatnya dingin. Begitu juga dengan roti bulat dengan aroma khas yang harum seperti aroma kopi ini mulai dingin. Harusnya aku menghabiskannya selagi masih hangat, namun... kenangan tentangnya mengusikku ketika aku mengeluarkan benda itu dari dalam tasku.
Sebuah note berwarna cokelat kopi dengan gambar kumis di bagian cover depannya. Dulu dia memberikanku note ini karena dia tidak tahan melihatku mencorat-coret segala sesuatu yang aku dapatkan. Misalnya tissue, kertas nota, bill tagihan bahkan bungkus makanan yang berbahan kertas.
"Wen, kenapa sih kamu selalu aja nulis sembarangan gitu." Aku mengalihkan perhatianku sejenak dari kegiatanku menulis, menatap wajahnya yang terlihat sedikit tidak suka.
Aku terkekeh pelan. "Ndra, ide itu munculnya kek hilal, bentar doang. Jadi daripada keburu ilang mending aku tulis secepat mungkin. Gitu."
Dia berdecak pelan. "Di note hape kan bisa."
"Sayangnya aku gak suka ngetik di hape. Terkadang itu yah, aku malah lupa kalau abis nyatet ide di hape. Aneh kan?"
Dia tidak menjawab hanya mengagguk dan mengalihkan pandangannya pada orang-orang yang berlalu lalang di stasiun Tawang Semarang ini. Dia menikmati hot cappuchino kesukaannya. Dan juga dua bungkus roti O yang masih mengeluarkan asap karena baru saja diangkat dari oven.
Tiba-tiba saja sebuah benda berbentuk persegi diletakkan di depanku. Aku mengerjap pelan dan menatapnya penuh pertanyaan.
"Note. Buat kamu corat-coret. Biar idenya nggak tercecer." Dia tersenyum sekilas. Meski hanya sebentar aku berkesempatan melihat senyumnya yang langka itu.
"Makasih, Andra. Aku makin cinta deh sama kamu." Mataku berbinar cerah. Hampir saja aku memeluknya dengan erat jika saja aku tidak cepat sadar jika ini tempat umum.
"Rotinya dimakan dulu. Keburu dingin nggak enak ntar." Sungguh aku tidak bisa menyembunyikan kebahagiaanku saat ini. Betapa beruntungnya aku memilikinya. Pria kaku yang tampak dingin tetapi begitu hangat.
--
Entah apa yang sedang aku lakukan di sini. Menantinya keluar dari pintu kedatangan? Tidak mungkin. Dia tidak akan pernah datang. Aku membuka halaman pertama note itu.
Dulu pertama kali aku mendapatkan note ini darinya, aku menuliskan kata Andra💝Wenny. Norak? Emang. Aku seperti anak abg yang baru jatuh cinta. Biar saja. Lagian Andra juga tidak keberatan.
Tanpa aku sadari air mataku mentes di note itu. Membuat tulisan di sana luntur. Aku mengelapnya dengan tissue. Tetapi tinta itu tetap luntur. Air mataku jatuh tepat di atas nama 'Andra' yang aku tulis menggunakan tinta biru.
Aku terisak. Mungkin saja orang-orang melirikku, penasaran kenapa aku menangis dan bisa saja sebagian tetap tidak mengacuhkanku. Satpam yang berdiri tidak jauh dariku kudapati sempat melirikku sekilas.
Aku menghapus air mataku cepat-cepat. Apa yang aku lakukan lagi di stasiun ini? Apa benar aku ke tempat ini untuk menghapus kenangan tentangnya atau hanya untuk mengingat momen terindah bersamanya hingga membuatku tidak kuat untuk sekedar bernapas?
Roti dan minumanku benar-benar sudah dingin. Aku menatap langit sore yang berwarna jingga keemasan. Dan aku bergumam lirih...
"Andra... Apa kamu baik-baik saja di sana?" Air mata itu kembali mengalir dengan derasnya. Ternyata aku tak sanggup menerima kenyataan ini. Aku masih belum bisa merelakanmu tiada. Andra, aku merindukanmu. Sungguh.
#tantanganODOP
Pati, 19 April 2017
April Cahaya
Hikss... Ini Fiksi kan pril?
ReplyDeleteTenang... hanya fiksi kok mbak Cili
DeleteSedih.
ReplyDeletePuk puk mbak :D
Delete