Untuk Musim dan Cinta yang Tak Menentu


Bolehkah aku menyamakan musim dengan cinta? Alasannya, karena dua hal itu sama-sama tak menentu saat ini. Musim sekarang tidak bisa diprediksi seperti dulu, begitu pun cinta ia juga tidak bisa diprediksi akan tetap bertahan atau menghilang diterpa angin.
            Berkali-kali aku mengintip dari balik jendela kamarku hanya untuk mengamati suasana rumah di seberang jalan. Aku baru saja tiba di rumah tadi pagi. Perjalananku dari Jakarta yang berangkat kemarin sore baru tiba di kampung halaman pada pagi harinya. Dan pemandangan yang aku lihat pertama kali adalah rumah di seberang jalan rumahku telah ramai oleh tetangga-tetangga.
            Pemilik rumah itu seminggu lagi akan mantu. Jadi pantaslah jika rumah mereka dipenuhi para tetangga yang hendak membantu memasak atau lainnya. Tetapi kenyataan itu membuat dadaku sesak. Ada rasa kecewa yang cepat menghampiriku, dan karena alasan ini pula aku pulang ke kampung.
--**--
            “Ibu, tidak ikut membantu ke rumah seberang?” tanyaku saat menghampiri ibu yang masih asyik dengan mesin jahitnya. Aku melihat banyak tumpukan kain baru di mejanya. Itu artinya ibu lagi banyak orderan menjahit baju.
            “Kayak ndak ngerti aja gimana hubungan Ibu dengan tetangga seberang itu, Nduk.” Aku hanya tersenyum samar mendengar perkataan ibu. Aku sebenarnya sangat tahu jika ibu dan tetangga seberang itu tidak pernah baik. Entah karena mereka terlalu sombong karena kaya, atau karena ibu yang terlalu berani menanggapi ejekan mereka.
            “Itu si Bagas sudah pulang dari dua hari yang lalu. Denger-denger dia satu kota kan kerjanya sama kamu, Nduk?” tanya ibu tiba-tiba membuatku hampir tersedak minumanku sendiri.
            “I..iya Bu.” jawabku. Aku mengerjap dan mengela napas sangat pelan, hanya untuk menyamarkan rasa kagetku tadi. “Kenapa, Bu?”
            “Ndak, ibu cuma nanya aja. Kali aja kamu pernah bertemu dengan Bagas gitu di sana. Kan satu kota masa iya tetangganya sendiri ndak ngenalin.” Ibu tersenyum dan kembali dengan jahitannya.
            Aku menelan ludah. Aku mengerjap beberapa kali. Mendadak rasa gugup menyerangku. Ibu tidak pernah tahu jika aku satu kantor dengan Bagas dan aku sudah menjalin hubungan asmara dengan laki-laki itu.
--**--
            Saat ini aku menatap deretan atap genteng yang berwarna merah kecokelatan, terbaring di atas tempat tidur yang lebih luas dibanding di kamar kost-ku di Jakarta. Pikiranku terbang entah ke mana. Yang aku ingat hanya nama Bagas dan kata-katanya sebelum dia pulang ke kampung ini.
            “Ris, besok aku akan pulang ke kampung dulu. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan terlebih dahulu. Kalau aku sudah selesai dengan urusan itu, nanti aku akan secepatnya kembali ke Jakarta lagi.”
            Betapa manisnya janji itu. Hingga aku bertemu dengan teman baik Bagas dan mengatakan jika Bagas pulang kampung untuk menikah. Bolehkah aku menyebutnya laki-laki brengsek? Aku tahu jika orang tua kami tidak berhubungan dengan baik, tetapi dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga dan bagaimana pun caranya agar kami bisa bersama. Pada kenyataannya dia pulang hanya untuk menikahi wanita lain.
            Sial. Apa aku sebegitu bodohnya hingga mudah dibohongi laki-laki seperti Bagas?
            Tanpa aku duga air mata sudah membahasi pipiku. Aku mengusapnya dengan kasar. Aku berharap ini caraku yang terakhir untuk memastikan sekali lagi jika Bagas masih menginginkanku. Tetapi berkali-kali aku ragu untuk menemuinya.
            Sekarang baru pukul 9 malam, tetapi suasana kampung ini sudah sangat sepi. Tidak ada suara kendaraan lewat meski rumahku dekat dengan jalan utama desa. Berbeda dengan di kota, sampai tengah malam pun suasananya masih ramai. Seolah kota itu tidak pernah tidur.
            Samar-samar aku mendengar suara telivisi masih menyala. Pasti itu Bapak yang masih menyaksikan pertandingan sepak bola favoritnya. Aku memilih memejamkan mata untuk mengusir kegundahan hatiku.
            Selamat malam, Bagas. Semoga besok aku mempunyai keberanian untuk menemuimu.
--**--
            “Wah ini calon pengantin rajin ya pagi-pagi.” Samar-samar aku mendengar beberapa tetangga yang menyapanya di depan rumah. Saat itu aku duduk di teras ditemani kopi susu buatan ibu. Dia sedang mencuci mobil di halaman rumahnya. Dia hanya mengenakan kaos polos berwarna putih dan celana pendek sebatas lutut. Dan bagiku dia tetap laki-laki yang berhasil mencuri hatiku.
            Aku menghembuskan napas kasar. Jari-jariku mengetuk meja berkali-kali. Haruskah sekarang? Tidak, bisa jadi nanti para tetangga malah curiga. Apalagi jika ibunya Bagas melihatku menghampirinya. Jika aku mengirim pesan padanya sekarang, besar kemungkinan dia akan membacanya nanti.
            Jadi aku memutuskan hanya memandangnya dari jauh. Dia tidak tahu aku juga pulang. Yang dia tahu, aku pasti menunggunya di kota perantauan. Kenyataannya aku sedang mengawasinya sekarang.
            Sebenarnya aku penasaran dengan wanita yang akan merebutnya dariku. Seperti apa rupanya? Apakah dia lebih cantik dariku? Yang aku dengar, wanita itu adalah anak kepala desa yang terkenal sebagai kembang desa. Cih.
            Tiba-tiba saja langit berubah mendung, angin semilir begitu dingin, dan hujan pun turun. Lihatlah musim itu tidak bisa diprediksi. Baru kemarin Bapak bilang jika sekarang ini musim kemarau panjang, kenyataannya sekarang hujan turun dengan derasnya.
            Kulihat dia buru-buru memasukkan mobilnya ke dalam garasi. Aku segera mengetik pesan untuknya. Aku ingin bertemu dengannya.
--**--
            Dia dihadapanku sekarang. Sudah sejak tadi dia berusaha menggapai tanganku namun aku tepis. Dia berusaha memelukku tapi aku mundur. Mulut laki-laki kebanyakan memang tidak dapat dipercaya. Janji manis? Janji yang begitu indah? Omong kosong. Dia akan menikah 3 hari lagi.
            “Harusnya kamu nggak usah sok janji-janji sama aku, Mas.” kataku dengan nada tegas.
            “Ris, maafin aku. Aku sudah berusaha meyakinkan kedua orang tuaku. Tetapi mereka tidak mendengarku sama sekali. Mereka memutuskan semuanya sendiri. Menentukan calon dan tanggal pernikahan seenaknya tanpa persetujuan dariku.” Jeda sejenak, dia menghela napas kasar, mencengkeram rambut cepaknya. “Ini diluar keinginanku, Ris. Aku janji akan menyelesaikan masalah ini secepatnya.”
            “Maksud kamu menyelesaikannya dengan cara menikahi wanita itu secepatnya?” Dia membelalakkan matanya.
            “Bukan gitu, Ris...”
            “Terus apa, Mas? Apa kamu mau kabur di hari pernikahanmu?” Dia tidak menjawab. Mulutnya membuka dan menutup tetapi tidak mengeluarkan suara.
            Aku menyodorkan sebuah surat yang aku bungkus dengan amplop warna merah. “Semoga kamu mengambil keputusan yang terbaik, Mas.” Setelah mengucapkan itu, aku lari dan meninggalkannya.
--**--
            “Kok cepet sih Nduk baliknya? Ndak seminggu sekalian gitu?” taya ibu yang membantuku mengemasi pakaian.
            “Riris cutinya hanya 3 hari, Bu.” Ibu mengangguk dan melanjutkan membantuku.
            Aku menyerah. Aku pergi dan tidak akan kembali ke kampung ini untuk waktu yang lama. Bukan hanya untuk menyembuhkan sakit hatiku tetapi juga untuk menemukan cinta yang baru. Semoga ini yang terbaik untukmu dan untukku juga.
            Mana aku sanggup menyaksikanmu mengucapkan ijab qabul besok pagi? Jalan satu-satunya aku harus pergi dari sini secepatnya. Tiket bus ke Jakarta sudah aku beli sebelum aku bertemu denganmu kemarin malam. Bus akan berangkat nanti sore pukul 4. Aku sudah meminta Bapak untuk mengantarku ke stasiun.
            Diam-diam aku menangis tanpa sepengetahuan Ibu. Cepat-cepat aku menghapus air mataku ketika Ibu memanggilku. Katanya Bapak sudah menungguku di depan. Aku harus segera pergi. Saat ini masih pukul 3 sore, perjalanan menuju terminal sekitar setengah jam. Jadi aku tidak mungkin terlambat dan tertinggal bus. Aku sungguh tidak sanggup lagi berlama-lama berada di kampung ini.
            “Sudah siap semua, Nduk?” tanya Bapak dari atas motornya. Aku mengangguk. Aku pamit pada Ibu dengan air mata yang tiba-tiba meluncur begitu saja. Ibu mengira aku masih merindukannya dan tidak rela pergi sekarang. Padahal aku sedang menangisi nasibku sendiri.
Ibu, anak gadismu ini sedang patah hati ditinggal menikah oleh kekasihnya.
--**--
Sekarang sudah pukul 04.05. Lebih lima menit dari waktu pemberangkatan. Aku menggurutu tidak sabar sama seperti penumpang lainnya. Kondektur berkali-kali meneliti jumlah penumpangnya. Kurang satu orang lagi.
Ayolah, cepat berangkat sebelum aku berubah pikiran.
Tiba-tiba saja pintu bus terbuka dengan omelan sang kondektur yang terdengar sangat keras di luar sana. Mataku terbelalak ketika menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam bus. Dia berjalan dan duduk disampingku dengan napas tersengal.
“Aku belum terlambat kan, Ris?” Aku tidak bisa menahan air mataku.
“Kamu terlambat 7 menit, Mas.” Aku tersenyum dalam tangis. Biarlah aku menjadi wanita jahat sekali saja. Aku punya hak untuk merebutnya kembali. Dia kekasihku. Tidak ada orang lain yang bisa memisahkan aku dan dia.
Di malam aku memberikan surat pada Bagas, aku menyelipkan satu tiket bus di lipatan surat itu. Aku berharap dia berubah pikiran dan mau pergi bersamaku dari kampung itu. Dan ternyata... dia benar-benar memilihku.


Note : Cerita ini ditulis karena terinspirasi dari kumpulan cerpen Boy Candra yang berjudul Satu Hari di 2018. Sebagian besar cerpen-cerpen karyaku juga terinspirasi dari gaya menulis Boy Candra.

           

Pati, 31 Juli 2017

April Cahaya



8 comments:

  1. Bagus, hanya saja endingnya bisa ditebak....

    ReplyDelete
  2. Bagus, hanya saja endingnya bisa ditebak....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mau bikin ending yg susah ditebak malah ketiduran duluan mbk Wid.

      Delete
  3. Aku pikir tadinya dia ngasih surat dari dokter kalau dia hamil.. wkwkwkwkwkwkwkw #terkontaminasi sinetron... tp tetep keren mbak april euy..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehehhe janganlah sampai hamil mbak. Terlalu mainstream

      Delete
    2. Cerpennya bagus.

      Wah panggemar Boy candra..

      Delete
    3. Cerpennya bagus.

      Wah panggemar Boy candra..

      Delete
    4. Yes.. Penggemarnya Boy Candra

      Delete